Kamis, 19 November 2009

"JANGAN MENGANGGAP DIRI BERSIH" Oleh: Joko Suharto

Jangan Menganggap Diri Bersih...

“Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. Tunjukkanlah kepadaku jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat”.(QS.Al-Fatihah: 5-7)

Dalam agama Islam terdapat kewajiban dan ajaran yang menuntun penganutnya untuk dapat meraih kebahagiaan hidup, dan salah satu tuntunannya adalah dengan adanya kewajiban bagi para penganutnya untuk mendirikan ibadah sholat.

Setiap muslim akan mengerjakan ibadah sholat, baik melaksanakan sholat yang wajib maupun sholat yang sunnah. Sedangkan salah satu persyaratan sah-nya sholat adalah membaca Surah Al-Fatihah, yang mana di dalam surah tersebut terdapat permohonan untuk memperoleh petunjuk jalan yang lurus. Berarti meskipun seseorang telah berikrar dengan membaca dua kalimat shahadat dan sudah termasuk sebagai muslim maupun telah pula mengaku sebagai mu’min, namun tetap saja orang tersebut setiap hari harus memohon petunjuk jalan yang lurus secara berulang-ulang, paling tidak tujuh belas kali dalam sehari ia harus mengucapkannya, yaitu di saat dia mengerjakan sholat. Apakah yang dimaksud dengan jalan yang lurus itu?, dan mengapa kita harus berulang-ulang kali memohon petunjuk jalan yang lurus?.

Seseorang yang telah memperoleh Rahmat menjadi seorang muslim, yang berarti dia telah memperoleh petunjuk jalan yang lurus, tetapi ternyata orang tersebut belum tentu hidupnya selalu berada di jalan yang lurus. Hal itu mungkin terjadi karena seseorang yang meskipun telah menjadi muslim belum tentu dia telah mu’min, dan meski ia telah mu’min belum tentu pula dia telah ihsan. Qolbu manusia memang sering berubah-ubah bagaikan bunga rumput yang terombang ambing tertiup angin, sekali waktu sadar, di lain waktu dia pun melanggar ketentuan, dan memang iman seseorang itu bisa tebal dan kadang bisa tipis.

Pelanggaran dan kesesatan manusia terhadap ajaran agama akan mudah terjadi antara lain disebabkan oleh faktor dorongan hawa nafsu atau faktor egoisme dan kesombongan, seperti halnya egoisme golongan atau aliran agama yang muncul di dalam Islam dimana masing-masing golongan akan menyatakan dirinya sebagai golongan yang paling benar.

”... dan dirikanlah sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan. (Yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi beberapa golongan. Tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka”.(QS. Ar Rum: 31-32).

Sabda Rosulullah, ”... Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Semuanya masuk neraka, kecuali hanya satu, yaitu kelompok jamaah kaum muslim”.(HR. Imam Ahmad).

Yang dimaksud Jamaah kaum muslim yang disebutkan di dalam hadits tersebut di atas tentunya sesuai dengan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah SWT, ”Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS. Al Fajr: 29-30). Jadi jamaah kaum muslim yang dimaksud adalah jamaah hamba-hamba Allah, yaitu yang sebenar-benarnya hamba Allah, hambanya kesucian dan kebenaran.

Pada saat ini telah terdapat banyak golongan atau kelompok aliran dalam Islam, dimana setiap kelompok akan menyatakan sebagai jamaah muslim yang paling benar, dan merekapun membanggakan kelompoknya masing-masing, padahal sikap membanggakan diri itu merupakan suatu bentuk dari sikap Iblis. Memang sangat halus godaan syaitan yang menyesatkan, sesuatu yang dikira benar dan baik oleh pikiran manusia belum tentu merupakan sesuatu yang memang benar dan baik dalam hukum Allah.

”Tidakkah kamu memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih?. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”.(QS.An Nisaa’:49).

Jadi sebenarnya seseorang tidak berhak untuk menganggap dirinya sebagai orang yang telah ”bersih” atau menyatakan diri sebagai golongan orang yang benar, karena yang berhak menentukan ”bersih” atau tidaknya seseorang hanyalah Allah Yang Maha Hakim.

Jadi, yang bagaimanakah sebenarnya jalan yang lurus itu?.

Sabtu, 17 Oktober 2009

SIKAP TAWADHU

MENGEDEPANKAN SIKAP TAWADHU
oleh: Joko Suharto

Saudaraku, kita tentu menyadari bahwa pada hakekatnya setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah Swt, dan Allah-lah yang menganugerahi kelebihan-kelebihan bagi setiap orang, sedangkan bagi orang-orang tertentu yang telah terpilih akan memperoleh Hidayah dari Allah untuk mendapat peningkatan derajat melebihi dari yang lain. Tak ada manusia yang berhak menilai dirinya sendiri sebagai orang yang ”baik” atau yang ”bersih” karena hanya Allah-lah yang membuat dan menentukan nilai ”baik” bagi seseorang. Jadi bila ada orang telah merasa dirinya lebih baik atau lebih ”bersih”, maka itu merupakan tanda telah terbukanya pintu sifat sombong pada diri orang yang bersangkutan. Karena itu maka kita perlu waspada dan selalu mengingat bahwa kita tak kan dapat hidup sendiri, dan kita tak kan mampu membelah bumi serta tak kan dapat menjulang setinggi gunung, kita hanya mahluk lemah, mahluk yang ”fakiir”, hidup sepenuhnya di bawah belas kasih Allah Sang Pemilik jagat raya. Mengapa kita harus sombong?.

”Tidakkah engkau perhatikan orang yang menganggap dirinya bersih ?, sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. (QS. An Nisaa’: 49).

Agar selamat, maka kita harus banyak berdo’a, berusaha untuk mengikis dan menghilangkan sifat angkuh dan sombong yang mungkin telah merasuk ke dalam hati dan pikiran kita. Dan mungkin tanpa sadar kita telah menjadi orang yang suka membangga-banggakan diri atau suka riya’, yaitu melakukan perbuatan syirik yang tersembunyi. Sifat sombong tidak boleh muncul walau hanya sedikit, karena sekecil apapun sifat kesombongan itu bila masih terdapat di dalam hati kita maka Allah telah mengancam tidak akan memperoleh Sorga. Yaa Allah, jauhkan kami dari kemunculan kesombongan dalam hati kami ini, jadikanlah kami sebagai hambamu yang bersifat rendah hati.

Bagaimana dengan sifat kita saat ini?, apakah ada sifat sombongnya?. Tentu kita menginginkan memperoleh kehidupan yang selamat baik selama menjalani hidup di dunia maupun kelak di alam Akhirat. Untuk memperoleh keselamatan sangat tergantung dari kebersihan hati, bersih dari penyakit iri, dengki, serakah, sombong dan riya’, untuk itu maka akhlak kita haruslah baik, tak boleh ada lagi sifat sombong, dan tak boleh ada lagi penyakit-penyakit hati lainnya di dalam batin. Lalu, Bagaimanakah cara kita untuk dapat menyembuhkan penyakit hati?, dan bagaimanakah cara kita untuk menghilangkan sifat sombong pada diri?. Syarat utamanya adalah adanya keinginan untuk menjadi orang yang ”baik”, adanya niat yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri, menjadi orang yang tidak sombong, yaitu orang yang tawadhu atau yang rendah hati.

Telah diajarkan di dalam agama Islam, bahwa kita harus melaksanakan ibadah secara benar agar kita terhindar perbuatan keji dan kemungkaran, agar kita terhindar dari munculnya penyakit hati, serta agar kita terampuni atau terhapusnya dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Melalui pelaksanaan ibadah yang diwajibkan itu maka kita akan dapat menekan munculnya sifat-sifat buruk termasuk sifat kesombongan. Di dalam ibadah sholat yang dilaksanakan secara khusyuk dan istiqomah, khususnya dalam sholat dan dengan melaksanakan gerak sujud yang sempurna, menyebut betapa tinggi dan sucinya Allah, maka akan menyadarkan kita betapa rendah dan fakirnya diri kita, betapa kecilnya diri kita, dan tak pantas bila kita berlaku sombong, tak berhak pula bila kita berbangga diri, kita harus sadar dengan sepenuh kesadaran bahwa diri kita ini pada hakekatnya hanyalah mahluk lemah yang hidup karena dihidupkan, dan hanya Allah-lah Pemilik segala kekuatan.

Saat ini kita masih hidup dan masih diberi kemampuan berpikir, tetapi kita tidak tahu sampai kapan kemampuan berpikir kita itu masih dapat kita pergunakan, mungkin saja nanti, besok atau sewaktu-waktu bisa saja kemampuan akal pikiran kita itu dicabut kembali oleh Allah, dan selanjutnya kita akan menjadi orang yang ”linglung” atau ”pikun” sehingga menjadi orang hina yang tidak tahu apa-apa lagi. Lalu, mengapa kita harus sombong?.

Saudaraku, marilah kita hilangkan sifat sombong, marilah kita sempurnakan sholat kita, mari kita sujud dengan khusuk, kita sujudkan badan kita, kita sujudkan jiwa kita, dan kita munculkan sifat kerendahan hati kita, kita sebut asma Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Melalui sujud kita akan mendekatkan diri kepada Allah, dan bila semakin sempurna sujud kita maka akan semakin dekatlah kita kepada-Nya. Dalam bersujud kita berdoa memohon tuntunan ke jalan kebenaran, memohon agar kita dijadikan sebagai manusia yang berakhlak karim, yang tawadhu atau rendah hati.

”. . .Bersujud dan dekatkanlah dirimu (kepada Tuhanmu)”. (QS.Al’Alaq: 19)

Yaa Allah, Yaa Karim, berilah kami kekuatan untuk melawan penyakit sombong yang sering merasuk ke dalam hati, kabulkanlah yaa Allah, jadikanlah kami sebagai hambamu yang memiliki kerendahan hati.

”Yaa Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi Engkau karena sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi karunia”. (QS.Ali Imran: 8).

Allah mencintai kepada orang yang mengedepankan sikap kerendahan hati atau tawadhu, yang menampilkan kesederhanaan, yang sangat patuh kepada perintah Tuhannya, yaitu yang selalu bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa.

Wallahu A’lam bial-shawab.

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani,blogspot.com

Sabtu, 03 Oktober 2009

JALAN MENUJU NIKMAT

"JALAN MENUJU NIKMAT"
Oleh; Joko Suharto
"Jalan yang lurus" adalah jalannya orang-orang yang telah memperoleh nikmat, seperti kehidupan para nabi, para Waliullah, dan para hamba-hamba Allah, yaitu orang-orang yang benar-benar beriman dan bertakwa; Yaitu jalannya orang yang menjalani kehidupannya dalam Keridhoan Allah. Dalam kata lain, "jalan yang lurus" adalah suatu jalan kehidupan orang-orang yang selamat, yang hidup dalam pengabdian kepada Tuhannya.

Dalam sejarah kehidupan para nabi, para aulia, dan atau para hamba Allah yang mencinta dan dicinta Allah, tak ada satupun dari hamba Allah itu yang menyatakan mereka hidup "tak bahagia", meski nampak dimata orang awam sepertinya mereka hidup "teraniaya", dengan berbagai "penderitaan", tetapi ternyata mereka justru hidup dengan selalu mengucap pujian atas rasa syukurnya, yang menandakan rasa kenikmatan dalam hidupnya.

"Jalan yang lurus" bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh Allah atau jalannya orang yang sesat. Jalannya orang yang dimurkai oleh Allah adalah jalan kehidupannya orang-orang yang suka membangkang, yang jahat, serakah, dan kikir, yang angkuh dan sombong, yang suka membanggakan diri sebagaimana sifat Iblis. Sedangkan jalan yang sesat adalah kesesatan dari umat golongan di luar Islam, yang musyrik, yang jahil, tak mau menggunakan akal pikirannya secara sehat. Jadi yang tergolong jalannya orang-orang yang dimurkai dan yang sesat bukanlah hanya jalannya Fir'aun yang dzalim, atau keangkuhan bani Israil, ataupun kesesatan kaum ahlil kitab diluar Islam, tetapi tentu juga berlaku bagi mereka yang saat ini berlaku angkuh, sombong, jahil, dzalim, bahil, dan sifat buruk lainnya.

Maka, bila ada orang yang masih suka men-dzalimi orang lain, suka bertuhankan nafsu hasratnya, atau masih suka membanggakan diri dan bersikap riya', berarti orang tersebut tergolong orang yang dimurkai oleh Allah, atau tergolong sesat.

Mungkin terjadi ada orang yang berpikir atau membayangkan Tuhannya berada di atas sana, dengan bayangan bahwa dzat tuhannya bagaikan dzat material sebagaimana dzat mahluk-mahluk hidup di dunia. Dengan cara berpikir seperti itu bukankah sama saja cara pikirnya dengan golongan orang yang bertuhankan berhala?.. yang berarti sama dengan cara pikir orang-orang yang sesat !.

"Dan katakanlah, segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari penghinaan, dan agungkanlah Dia seagung-agungnya".(QS.Al Isra: 111)

Bila kita perhatikan, ada saja orang yang menyatakan Allah tuhannya, tetapi kenyataannya dia masih bersandar dan memuja Pejabat atau jabatan, bersandar atau memuja harta benda, atau barangkali juga berlaku musyrik. lalu kalau seperti itu kelakuannya apakah orang tersebut sebagai orang yang berjalan dijalan yang lurus?, atau apakah orang tersebut telah beriman tauhid?. Sangat halus bisikan Iblis!.

"Segala puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan kepada-mu kami memohon pertolongan.

Mengingat sulitnya untuk dapat tetap berjalan di "Jalan yang lurus", maka kita di tuntut untuk bersungguh-sungguh mengatasi dan mengendalikan dorongan hawa nafsu hasratnya yang menggoda, dan menyakini se yakin-yakinnya bahwa Allah memberi janji-Nya untuk memberi petunjuk kepada mereka yang yang mau berjuang secara sungguh-sungguh di jalan Allah untuk mencapai NIKMAT.

"Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik".(QS.Al-Ankabuut: 69).

Wallahu a'lam bial shawab

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani.blogspot.com

Minggu, 27 September 2009

Kecerdasan Spiritual

KECERDASAN SPIRITUAL
Oleh: Joko Suharto

Setiap manusia yang ingin sukses di dalam hidupnya hendaknya memiliki kecerdasan Berpikir, kecerdasan Emosi, kecerdasan Spiritual, dan juga memiliki kecerdasan Sosial. Bila manusia ingin memperoleh kesuksesan yang lebih bernilai atau yang bersifat hakiki maka manusia yang bersangkutan harus mampu berhubungan dan atau beribadah secara benar kepada Tuhannya. Untuk dapat melakukan ibadah atau pengabdian secara benar maka manusia harus menggunakan potensi kecerdasan spiritualnya secara baik. Dengan kecerdasan spiritualnya itu maka manusia akan dapat membaca hati nuraninya, memahami agamanya, menyadari hakekat dirinya, mengenal Tuhannya, yang pada akhirnya harus mampu sampai pada tingkat ”dekat” dengan Tuhannya. Dengan semakin tinggi kecerdasan spiritualnya maka manusia akan semakin mampu memanfaatkan kecerdasan akalnya dan juga akan semakin mampu mengendalikan nafsu hasratnya, sehingga ia akan mampu memilih atau menemukan serta meniti jalan yang lurus dan benar, sehingga dapat mencapai kesuksesan hidup yang sebenarnya.

Membangun kecerdasan spiritual berarti membangun kemampuan diri untuk mengenal fitrahnya, membaca hati nuraninya serta kemampuan untuk menerima cahaya-cahaya dari Tuhannya. Bila dia cerdas maka dia tidak akan tersesat, dan tidak akan mengumbar nafsu duniawi sehingga tidak terjerumus ke dalam sifat-sifat yang mengagungkan kebendaan. Bilamana memang dia cerdas maka dia-pun akan menyadari bahwa apa-pun yang diperolehnya sepenuhnya berkat karunia Ilahi, maka dia akan mampu bertawakal kepada Allah.

Tidak semua orang dapat memiliki kecerdasan spiritual, hal ini terbukti dengan masih banyaknya orang yang sering melakukan aniaya, sering lupa diri atau lepas kendali dalam bersikap, sering merugikan orang lain dan suka melanggar aturan. Di dalam hatinya dimungkinkan masih terdapat keraguan atau penolakan terhadap ajaran agama, sehingga bila ia mengerjakan peribadatan agama atau melaksanakan tugas dan kewajibannya ternyata dia hanya lakukan dengan hati yang kosong tak terkandung rasa pengabdian yang tulus. Itulah suatu contoh sikap orang yang belum mempu mengembangkan kecerdasan dalam kehidupannya.



Allah berfirman: ”Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi ?, yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupannya di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (QS.Al Kahfi: 103-104).

jokosuharto@rocketmail.com
Hambarabbani.blogspot.com

Kamis, 24 September 2009

BEKAL KEMATIAN




BEKAL KEMATIAN
Oleh: Joko Suharto

“Kullu nafsin dzaa-iqatul mauti”, tiap-tiap jiwa akan merasakan mati (QS.Ali Imran:185), demikian diterangkan di dalam Al-Quran bahwa setiap mahluk hidup pasti akan menemui kematian. Tentang bagaimanakah rasanya kematiaan itu?, tidak ada seorangpun yang akan dapat menjelaskankannya, baik dalam hal proses pencabutan nyawa maupun segala hal yang dialaminya di saat ajalnya tiba, karena setiap orang yang masih hidup belum pernah merasakan mati, sedangkan yang sudah mati tidak akan hidup kembali ke dunia bersama kita lagi. Maka tak akan ada orang yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya rasanya mati dan kejadian-kejadian apa saja yang akan dialami di alam kematian itu.

KEMATIAN, SUATU YANG PASTI DAN MISTERI

Kita sadar bahwa kita semua pasti akan menemui kematian, dan sehubungan dengan kematian itu ada suatu pertanyaan yang barangkali perlu kita renungkan, ”Ingin seperti apakah proses kematian kita?”.

Bila kita coba amati berbagai kejadian yang menyangkut kematian, maka akan kita temui ada orang yang mati melalui proses sakit terlebih dahulu dan ada pula yang mati mendadak. Ada yang matinya berproses lama namun ada pula yang berproses cepat. Ada yang mati di rumahnya tetapi ada yang mati entah dimana tak pernah ditemukan jasadnya. Selain itu, ada jazad yang telah dikuburkan lama namun jasadnya relatif masih utuh terbujur kaku, namun ada yang belum lama dikubur ternyata jasadnya telah lenyap menyatu dengan tanah. Semua itu memang sangat misteri, tak ada seorangpun yang dapat mengatur proses kematiannya sendiri, karena segalanya telah diatur oleh kekuatan yang sangat berkuasa atas alam semesta beserta segala isinya.

“Maka apabila telah tiba ajal mereka, tidaklah mereka dapat meng-undurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mereka dapat mendahulukan-nya”. (QS. An-Nahl: 61).

Datangnya kematian merupakan sesuatu yang sudah pasti, bersifat final dan misteri, yang entah kapan datangnya, dimana, dan bagaimana kejadiannya?, kita tidak tahu !. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila di saat kita masih hidup dapat berlaku lebih bijak dengan banyak mengingat kematian. Entah kapan, kematian kita pasti akan datang dan tubuh kita akan punah habis dimakan tanah dengan proses yang kita tidak tahu seperti apa kejadiannya dan bagaimana pula rasanya. Di alam kematian itu kita tidak mungkin lagi bisa berpikir maupun berbuat karena kita sudah tidak memiliki kemampuan, segalanya telah tamat, hanya tinggal menunggu waktunya untuk dihisab.

MENCARI BEKAL UNTUK KEMATIAN

Meskipun semua orang menyadari bahwa dirinya pasti akan mati, tetapi ternyata tak banyak orang yang hatinya merasa siap, ikhlas, dan tetap tenang untuk menghadapi kematiannya. Tak sedikit orang yang merasa belum siap dan takut menghadapi kematiannya, meski ada sebagian yang menyatakan dirinya siap, tetapi ternyata dihati kecilnya juga tetap saja terselip rasa takutnya. Lalu bagaimana pula dengan tanggapan dan perasaan Anda sendiri pada saat ini?.

Rasa takut terhadap kematian bisa timbul karena adanya kekuatiran akan mengalami rasa sakit yang belum terbayangkan, atau takut akan mengalami siksaan dan kesengsaraan, atau barangkali takut meninggalkan harta kekayaan yang selama ini telah dia kumpulkan, atau takut berpisah dengan kehidupan di dunia yang telah terlanjur dia senangi, atau takut berpisah dengan orang-orang yang selama ini dia kasihi, atau barangkali juga takut karena terbayang badannya akan terbujur kaku dan hancur menyatu dengan tanah, atau timbul rasa takut karena alasan-alasan yang lainnya. Memang banyak orang yang merasa ngeri terhadap kematian, sehingga banyak yang berusaha untuk menghindar dari pembicaraan mengenai kematian.

Saudaraku, kemewahan dunia memang sangat menggiurkan, tetapi hal itu hendaknya tidak membuat kita lupa terhadap kematian. Kita perlu untuk mencari bekal yang diharapkan dapat memberikan kedamaian di alam kematian kita kelak. Upaya mempersiapkan diri dalam menunggu datangnya kematian hendaknya disikapi dengan serius dan dengan cara yang tepat. Bilamana kita telah salah dalam memanfaatkan kesempatan hidup maka akan fatallah akibatnya, Sungguh cerdas dan berutunglah mereka yang di masa hidupnya selalu mengingat kematian dan mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak berguna sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.

Bekal apakah yang perlu kita bawa dalam kematian?.

”Apabila manusia telah mati maka terputuslah dia dengan segala urusan dunia kecuali tiga perkara yaitu (1)Amalnya, (2)Ilmu yang bermanfaat, dan (3)Anak shalih yang mendo’akannya”. (HR. Muslim).

Dengan dimilikinya ilmu yang bermanfaat berarti kita termasuk orang yang cerdas, yang memahami makna hidup, dan dengan banyaknya amal shalih yang kita lakukan berarti kita memiliki hati yang penyantun serta sifat-sifat kebaikan hati lainnya. Rupanya memang sangat erat hubungannya antara sifat hati dengan prilaku seseorang. Yang artinya orang yang hatinya ”baik” akan banyak melakukan perbuatan kebaikan. Sedangkan orang yang berhati ”buruk” tentu akan banyak melakukan keburukan pula. Maka, simaklah isi peringatan berikut ini.

”..., (yaitu) di hari, di mana harta benda dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”, (QS. Asy Syu’araa: 88-89).

Jelas bagi kita bahwa orang-orang beriman yang telah memiliki kebersihan hati-lah yang akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan kelak. Sikap dari orang-orang yang beriman dan telah memiliki hati yang bersih tentu akan banyak berbuat kebaikan dan akan selalu berusaha menghindari perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Sungguh beruntung bila kita memiliki hati yang bersih !.

BANYAKLAH MENGINGAT KEMATIAN

”Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. Mereka pergi membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat”. (HR Ibnu Majah)

Orang yang banyak mengingat kematian adalah orang yang cerdas dan memiliki kemuliaan!. Lalu, bagaimana dengan kita sendiri?, seringkah kita mengingat kematian?, dan sudah siapkah kita menerima datangnya kematian??.

Di dalam kehidupan ini banyak orang yang begitu sibuk mengejar jabatan dan kekuasaan, serta sibuk pula menumpuk-numpuk harta ataupun terlalu asyik menikmati kemewahan dunia, sehingga seringkali mereka lupa terhadap kematiannya. Karena sikapnya itu maka bisa saja terjadi ada orang yang sedang tenggelam di dalam kesibukan dunianya menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba maut datang menjemput. Nyawanya telah dicabut dengan paksa di saat dalam keterkejutannya itu, dan dia mati membawa penyesalan dengan meninggalkan jabatan dan tumpukan harta yang tak sempat dia manfaatkan. Kita tentu menyadari bahwa cara hidup seperti itu merupakan cara hidup yang keliru dan yang sangat merugikan dirinya sendiri mengingat di saat dia belum memiliki persiapan ternyata waktu dan kesempatannya telah habis, dirinya tidak bisa lagi memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya.

KENALILAH SIKAP HATI KITA

Kenalilah sifat kita, kenalilah hati kita, dan ketahuilah pula sudah seberapa bersih dan baiknya hati kita ini!!.

Kadang ada orang yang tidak sadar kalau dirinya sebenarnya tidak tahu, sehingga membuatnya banyak mengalami kerugian di dalam kehidupannya. Agar kita terhindar dari hal seperti itu, kita perlu melakukan penilaian secara jujur kepada diri sendiri tentang sudah seberapa besar kesadaran dan kemampuan kita dalam menjalani kehidupan ini secara baik dan benar. Kita nilai bagaimana sebenarnya kepedulian dan rasa kasih-sayang kita, dan bagaimana pula sikap hati kita dalam menghadapi masalah kehidupan ini, yang antara lain mengenali bagaimana situasi hati kita bila menemui seseorang yang sedang mengalami kesulitan hidup, atau bagaimana situasi hati kita bila menghadapi musibah kehilangan sesuatu yang sangat kita cintai, atau barangkali bila menghadapi kematian dari orang-orang yang sangat kita kasihi, ataupun bagaimana kiranya sikap hati kita bilamana menghadapi datangnya kematian atas diri kita sendiri.

Dari hasil renungan kita dalam membaca pikiran dan perasaan yang timbul di dalam hati kita sendiri itu diharapkan kita akan lebih mengenal sifat pribadi kita yang sebenarnya, dan barangkali pula kita akan memperoleh gambaran bagaimana kira-kira tingkat kesiapan kita dalam menghadapi berbagai persoalan yang mungkin akan timbul di dalam perjalanan kehidupan kita. Lebih lanjut, mulailah belajar menjadi manusia yang mau berqurban dan berbagi, yaitu dengan belajar untuk bisa berpisah dengan harta, belajar berpisah dengan kemewahan dan kenikmatan dunia, serta belajar untuk berpisah dengan orang-orang yang sangat kita kasihi, yang akhirnya kita bisa belajar untuk bisa dengan ikhlas meninggalkan dunia yang fana ini.

Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu lakukan”. (QS. Al-Jumu‘ah : 8)

Memang, untuk dapat memiliki kesadaran dan ketenangan di dalam menghadapi berbagai persoalan hidup diperlukan adanya kecerdasan dan pemahaman terhadap makna kehidupan itu sendiri. Jadi dengan kecerdasan dan keilmuan yang dimiliki maka orang akan dapat menata hatinya untuk mampu menyikapi segala persoalan kehidupannya secara tepat.

Setelah seseorang memahami serta meyakini bahwa segala kejadian yang berkait dengan nasib hidupnya merupakan kehendak dan aturan dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, maka dia akan dapat bersikap tenang dalam menerimanya. Bila keyakinan ini telah terpatri kuat di dalam jiwanya maka dia akan semakin mampu untuk menyikapi segala hal yang berlaku pada dirinya secara benar. Bilamana dia mendapat musibah maka dia akan tetap tenang menerimanya; bila usahanya mengalami kegagalan maka dia pun akan dapat tetap bersikap tegar dalam menghadapinya; dan bilamana dia memperoleh keberuntungan maka orang tersebut akan selalu bersyukur dengan kerendahan hatinya, dan yang berarti tidak muncul sikap keangkuhan dalam dirinya. Demikian antara lain sikap seorang yang telah memiliki ketenangan jiwa.

Ketenangan takkan mungkin bisa kita miliki bila di dalam bathin kita masih terdapat sikap penolakan, kekecewaan, keserakahan, kesombongan serta sikap-sikap lain yang mengandung gejolak bathin. Ketenangan jiwa akan bisa kita wujudkan bila kita telah berhasil menyingkirkan sifat-sifat yang buruk, serta berhasil pula memunculkan sifat-sifat kita yang mulia seperti; sabar, tawadhu, kasih-sayang, qona’ah, tawakal, dan sifat mulia lainnya.

Mengapa seperti itu?. Karena ketenangan itu baru bisa terwujud bila di dalam bathin kita sudah tidak terkandung rasa penyesalan, ketakutan, kekhawatiran, kekecewaan, dan semacamnya. Sebab, bila masih terdapat rasa waswas atau masih suka melakukan dosa-dosa maka mana mungkin akan bisa terwujud suatu ketenangan?. Jadi dengan adanya sifat-sifat mulia itulah yang akan memberikan rasa puas dan memunculkan kondisi ketenangan jiwa karena keridhoan Allah.

LIMA LANDASAN SIKAP HIDUP

Dari pembahasan tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya untuk menumbuhkan ketenangan di dalam hidup dibutuhkan adanya kelurusan iman, kecerdasan berpikir dan bertindak, sikap hati yang baik, sikap kepasrahan atau tawakal, dan rasa kepedulian sosial. Kelima faktor tadi selanjutnya kita sebut sebagai “Lima Landasan Sikap Hidup” yang merupakan persyaratan utama untuk bisa mencapai ketenangan, baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di Akhirat kelak.

Ke-Lima Landasan Sikap Hidup yang dimaksud adalah:
(1) Keimanan yang tauhid; yaitu keimanan yang benar-benar telah masuk kedalam hati dan yang terbebas dari sikap syirik, serta keimanan yang memenuhi cabang-cabang iman.
(2) Kecerdasan; yaitu pribadi yang Alim, yang memahami makna beragama, memahami ajaran/tuntunan agama, dan mengenal Tuhannya.
(3) Kesabaran; yaitu sikap yang telah mampu mengendalikan emosinya, mampu mengendalikan nafsu hasrat dunianya, atau telah memiliki ketenangan dalam jiwanya.
(4) Ketaatan dan Ketawakalan; yaitu sikap tunduk dan berserah diri kepada Allah secara penuh, yang didasari keimanan, ketulusan, dan kerendahan hati.
(5) Kelembutan hati dan perasaan yang menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama atau tumbuhnya rasa kepedulian sosial, disertai semangat atau kesungguhan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan.

Bagaimanakah caranya agar ke-Lima Landasan Sikap Hidup tersebut dapat terwujud di dalam diri kita, sehingga kita dapat hidup tentram serta memiliki bekal untuk kita bawa dalam kematian kita??. Mari kita diskusikan lebih lanjut pada kesempatan lain.
Wallahu A’lam bial-shawab.

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani,blogspot.com

Kamis, 17 September 2009

MENJAGA FITRAH

MENJAGA FITRAH
Oleh: Joko Suharto

”Arahkanlah wawasanmu lurus-lurus kepada Agama Allah, selaras dengan Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia serasi dengan fitrah kejiwaannya. Tidak ada sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah tadi. Itulah Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum: 30).

Agama Allah yang diturunkan bagi manusia adalah agama yang bersifat selaras dengan fitrah kejiwaan manusia, itulah agama yang lurus, agama yang sesuai dengan pancaran cahaya yang ada dalam Nurani manusia, tidak ada pertentangannya terhadap fitrah kejiwaan manusia itu. Kita ketahui dan sadari bahwa pada hakekatnya setiap manusia memiliki fitrah atau pembawaan dasar dalam dirinya. Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna telah dianugerahi oleh Allah untuk memiliki suatu fitrah kejiwaan atau fitrah ”kemuliaan manusia” di dalam Nurani, yaitu suatu fitrah yang suci, yang akan mengangkat derajat diri manusia yang bersangkutan.

Dengan adanya “Fitrah Kemuliaan” pada manusia maka manusia akan memiliki kehalusan dan kepekaan perasaan, kelembutan hati dan ketajaman akal pikiran, serta keluasan pandangan. Inilah salah satu Anugerah dari Allah yang paling berharga bagi manusia sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di dunia agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Dengan adanya fitrah ini maka seorang manusia akan dapat menjadi “Manusia Yang Manusiawi”, yang memiliki derajat lebih tinggi dari mahluk-mahluk lainnya.

“Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya,ditiupkan-Nya Ruh-Nya ke tubuhnya, dan diperlengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, namun sedikit sekali kamu yang bersyukur”. (QS.As Sajdah: 9).

Riwayat dalam Hadist, ”Takutlah firasat (pandang tembus) orang mukmin karena ia memandang dengan Cahaya Allah”. (HR. At Tarmizi).

Keberadaan manusia dengan Ruh yang ditiupkan Allah kepadanya menjadikannya hidup dengan kesempurnaan, memiliki nurani dengan cahaya kasih-sayang, cinta kebersihan dan keindahan, memiliki kepatuhan, kejujuran, dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Dengan perlengkapan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran yang ada padanya maka manusia akan memiliki kemampuan untuk memilah, memilih, dan memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupannya.

Selain memiliki fitrah kemuliaan dalam Hati Nurani, manusia juga memiliki fitrah atau pembawaan lain yang disebut Naluri, yaitu suatu pembawaan dasar yang ternyata juga dimiliki oleh berbagai jenis mahluk hidup lainnya, suatu unsur kekuatan dalam diri setiap manusia yang membuat manusia memiliki ambisi, emosi, nafsu hasrat, mengharap pujian, mencari kebanggaan, menggandrungi kenikmatan, keserakahan dan kikir serta sifat lainnya. sifat-sifat naluriah manusia inilah yang dalam teori ilmu jiwa manusia disebut dengan pembawaan dasar manusia, suatu faktor pembawaan yang menyangkut biologis maupun kejiwaan. Naluri yang berkait denga pembawaan biologis antara lain dengan adanya rasa lapar, haus, kenyang, dan nikmat, serta adanya dorongan keinginan untuk cantik menawan, Tampan dan gagah perkasa.

”Diciptakan manusia dengan fitrah suka terburu nafsu. Kelak akan Ku-perlihatkan juga siksaan-Ku kepadamu. Karena itu tenanglah, jangan terburu nafsu!”. (QS.Al Anbiya: 37).

”Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan sifat bawaan gelisah dan kikir, bila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah”.(QS.Al Ma’arij: 19-20).

Sifat kemuliaan nurani dan sifat nafsu naluri memang sangat berbeda, ada suatu kata bijak yang dapat kita simak dan kita pahami maknanya yaitu sebagai berikut:
Nafsu akan memandang suatu keindahan dari sisi penampilan fisiknyanya,
Akal memandang suatu keindahan dari sisi penguasaan ilmunya, dan,
Hati memandang keindahan itu dari sisi akhlaknya.

Seseorang yang memiliki Dorongan naluri yang kuat akan membuat orang yang bersangkutan lebih mengikuti keinginan-keinginan nafsunya. Dari awal keinginannya yang hanya sekedar mengejar tuntutan kebutuhan biologis, biasanya akan berlanjut menginginkan harta kekayaan, meskipun sudah mendapat satu bukit emas ia akan berkeinginkan untuk memiliki dua bukit emas, lalu iapun akan menginginkan adanya pengakuan atau jabatan bagi dirinya, ingin terkenal dan ingin penghormatan, tidak berhenti sampai di situ ia akan menginginkan kekuasaan, dan akan terus berkeinginan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi, tak pernah puas!, seperti halnya nafsu Fir’aun!, sampai akhirnya manusia tersebut akan terkejut saat nyawanya sudah dekat ke tenggorokan, ia telah mendekati ajal dalam kondisi memiliki hati yang penuh rasa waswas, Sungguh kasihan ! Nafsunya yang tak terkendali telah menutupi pancaran cahaya nurani, hatinya telah terkotori, terhijab dari Petunjuk Ilahi.

”.....Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsu-nya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika dihalau diulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan dia mengulurkan lidahnya juga”. (QS.Al A’raaf: 176).

Dalam jiwa manusia akan terjadi pertentangan antara sifat kemuliaan atau pancaran Cahaya dalam nurani-nya dengan kekuatan sifat naluriah-nya, sikap pembangkangan yang dilakukan atas dorongan nafsu akan selalu diperingatkan atau ditentang oleh nuraninya. Sungguh beruntung orang yang masih dapat mendengar kata nuraninya, dan sangat merugilah orang yang telah buta mata hatinya. Kebutaan hati ini akan dapat terjadi pada orang-orang yang sering melakukan pembangkangan terhadap kewajiban mengabdi kepada Allah, yaitu manusia yang membangga-banggakan diri, yang sering menzalimi orang lain, suka berlaku curang, biasa melanggar hukum, serta dosa-dosa lainnya.

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Yang sebenarnya dalam hati kecilnya dia mengakui keingkaran itu”. (QS. Al ’Adiyaat: 6-7).

”Sesungguhnya kebiasaan yang mereka lakukan itulah yang menutupi hati mereka”. (QS. Al Muthaffifiin: 14).

Saat kelahirannya, manusia masih dalam kondisi suci, jiwanya masih bersih, tanpa noda dosa, namun dalam perjalanan hidupnya akan banyak dosa-dosa yang mereka lakukan, nafsu hasratnya sering muncul tak terkendalikan, sikap pembangkangan terhadap peritah Allah sering kali mereka lakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Namun, selaku hamba dan selaku muslim kita perlu bersyukur, bahwasanya Allah Yang Maha Pengampun telah memberikan Petunjuk, mengingatkan kepada kita agar mau bertaubat membersihkan diri dari noda dosa yang mengotori, serta dapat selalu berusaha untuk menjaga fitrahnya dengan mengendalikan nafsunya. Dan untuk itu Allah telah menyediakan sarananya, Allah telah menurunkan Agama Samawi, Agama Islam yang lurus sebagai petunjuk menuju keselamatan bagi orang-orang yang meyakini.

Agar kita dapat selalu mengendalikan nafsu hasrat naluri kita, maka Islam mengajarkan agar setiap Muslim melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang telah ditetapkan seperti mendirikan ibadah sholat, berpuasa baik yang wajib maupun yang sunnah, membayar zakat dan memperbanyak shodaqoh, melempar ”jumroh” saat ber-haji, serta bentuk ibadah lainnya.

Segala puji bagi Allah yang telah menyediakan suatu bulan suci yang penuh keberkahan yaitu bulan Ramadhan, di mana diajarkan agar dalam bulan suci itu kita meningkatkan mutu ibadah-ibadah kita dengan berpuasa pada siang hari selama sebulan penuh, memperbaiki kesempurnaan sholat, mendirikan sholat malam, membayar zakat, memperbanyak shodaqoh, menghindari perbuatan-perbuatan tercela, serta banyak melakukan tafakur yaitu antara lain dengan ber-itikaf di dalam mesjid. Seseorang yang telah memperoleh rahmat dari Allah yang mampu melaksanakan ibadah-ibadah dalam bulan Ramadhan secara sempurna, bertaubat secara sungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah, serta berupaya untuk memperbaiki kembali segala hubungan dengan sesamanya, maka orang tersebut akan kembali memperoleh kebeningan hati nurani, jiwanya akan kembali bersih dari noda-noda dosa, atau dalam kata lain ia akan dapatkan kembali fitrahnya sebagai manusia yang manusiawi.

Dengan ibadah puasa kita akan memperoleh kekuatan untuk menekan emosi menjadikan diri sebagai manusia yang lebih sabar; Membayar zakat dan banyak bershodaqoh akan membersihkan harta dan menekan sifat kikir dan serakah; Dengan menyayangi anak yatim dan menyantuni fakir miskin akan dapat membuat hati lebih lembut dan bersih; Banyak melakukan sholat malam, dzikirullah dan tafakur akan dapat menghapus hijab yang mungkin telah menutupi hati dan yang akan mempertajam kepekaan nurani dalam membaca cahaya hikmah dari Ilahi. Fitrah ahlak mulia akan tumbuh subur kembali menjadi manusia yang semakin dekat dengan Tuhannya.

”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (QS.Al Baqarah: 222)

Saudaraku, marilah kita berusaha menemukan jati diri kita kembali sebagai seorang manusia yang manusiawi, kembali kepada fitrah kemuliaan kita, memiliki kebeningan hati nurani, ketajaman mata hati, serta kepekaan perasaan, agar kita dapat memandang pancaran cahaya Allah, dapat merasakan segala nikmat dari Allah, sehingga kita dapat menjadi hamba yang pandai bersyukur. Jagalah fitrah kemuliaan kita agar kita dapat selamat dalam menjalani kehidupan di dunia ini, juga selamat dalam menghadapi hari penghisaban kelak.

Yaa Allah, Yaa Malikul Quddus, ampunilah segala dosaku, berilah aku kebersihan qolbu, kembalikanlah dan tetapkanlah aku dalam fitrah kemuliaan atas keridhoanmu; Amiin yaa Allah amiiin.

“ Dia telah menciptakan langit dan bumi dengan hikmat kebijaksanaan. Dia telah membentuk rupamu, lalu rupamu itu dibuat-Nya seindah-indahnya. Selanjutnya dalam kehidupan di Akhirat, kepada-Nya lah tempat kembali” (QS. At Taghabun: 3).

Wallahu A’lam bial-shawab.

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani,blogspot.com

Kamis, 27 Agustus 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

PRIBADI IHSAN



"PRIBADI IHSAN"
Oleh: Joko Suharto, hambarabbani.blogspot.com


“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu”. (QS. Al Kahfi: 30).

Dalam hal pengertian Ihsan, terdapat suatu keterangan yang cukup populer di kalangan muslim, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Hadits berikut ini; Umar bin Khaththab menceritakan, bahwa pada suatu hari ketika beberapa sahabat sedang berada di sisi Rasulullah Saw., sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan dan tidak seorangpun di antara mereka yang mengenalnya, Dia langsung duduk ke dekat Nabi Saw., lalu disandarkannya lututnya ke lutut Nabi, dan diletakkannya kedua telapak tangannya ke pahanya. Dia berujar, “Ya, Muhammad!, terangkan kepadaku tentang Islam!” .. Jawab Nabi Saw., “Islam ialah; (1) Mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad Rasulullah; (2) Mendirikan shalat; (3) Membayar zakat; (4) Puasa Ramadhan; dan, (5) Haji ke baitullah bila sanggup melaksanakannya”. “Engkau benar!”, kata orang itu. Kemudian orang itu kerkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Iman!”.. Jawab Nabi Saw., “Iman ialah; (1) Iman kepada Allah; (2) Iman kepada para malaikat-Nya; (3) Iman kepada kitab-kitab-Nya; (4) Iman kepada para Rasul-Nya; (5) Iman kepada hari berbangkit; (6) Iman kepada Qadar baik maupun buruk”. Orang itu berkata, “Engkau benar!’. Kemudian dia berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan!”. .. Jawab Nabi Saw., “Ihsan ialah ; menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya , sesungguhnya Dia melihatmu”. … (HR. Muslim).

Dari riwayat tersebut di atas dapatlah kita pahami tentang makna dari Islam, Iman, maupun Ihsan. Selain itu kitapun memperoleh suatu pengertian bahwa seseorang hamba Allah yang taqwa adalah mereka yang telah memiliki ketiga derajad tersebut, yaitu; ia telah Islam, Iman, dan juga telah Ihsan. Jadi seseorang yang telah Islam atau telah masuk ke dalam golongan Muslim, belum tentu ia telah mencapai derajad Iman atau Mu’min. Dan meski seseorang sudah termasuk dalam golongan mu’min belum tentu pula ia telah menjadi seorang hamba Allah yang Ihsan. Bisa saja seseorang telah mengucap dua kalimat sahadat namun belum tentu ucapannya itu telah sesuai dengan jiwa dan kata hati nuraninya, dan bisa saja orang mengerjakan ibadah shalat ataupun puasa tetapi ibadahnya itu tidak ia lakukan dengan keikhlasan. Ada orang yang masuk dalam Islam karena keyakinannya yang memang telah tumbuh dalam hatinya, namun ada pula orang yang masuk Islam hanya karena keturunan atau ikut-ikutan saja.

Tentang adanya orang-orang muslim yang belum termasuk ke dalam golongan mu’min memang sudah diisyaratkan sejak awal, yaitu sebagaimana telah di peringatkan di dalam Al Qur’an, “Orang-orang Arab pedalaman itu berkata, ‘kami telah beriman!’. Katakanlah kepada mereka, ‘Kamu belum beriman!’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah Islam!’, sebab iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan kalau kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat: 14). Lalu, bagaimanakah ciri-ciri dari seorang mu’min?. Berikut ini adalah beberapa ciri seorang Mu’min yang diterangkan di dalam Hadits, yaitu sebagai berikut: “Barang siapa menyenangi amalan kebaikan dan merasa sedih terhadap keburukan, maka ia adalah seorang Mu’min”. (HR. AL Hakim). Dan, “Seorang Mu’min bukanlah pengumpat dan yang suka mengutuk, yang keji dan yang ucapannya kotor”. (HR. Bukhari). Jadi bila ada seorang yang mengaku Muslim tetapi ternyata kelakuannya masih buruk sebagaimana yang digambarkan di atas berarti ia masih belum tergolong sebagai seorang mu’min. Seorang Muslim yang mu’min itu adalah hamba Allah yang menyenangi amalan kebaikan dan yang selalu berupaya menjauhi sikap-sikap keburukan. Lalu, bagaimana dengan keimanan kita dan keimanan diri anda sendiri?. Apakah kira-kira kita ini sudah tergolong sebagai orang yang Mu’min?.

Mengenai pengertian Ihsan, sebagaimana Hadits tersebut di atas Rasulullah Saw. telah memberikan suatu keterangan yang cukup ringkas tetapi terkandung makna yang luas dan mendalam. “Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Cobalah anda perhatikan betapa seseorang pegawai Perusahaan akan menunjukkan sikap kerja yang baik, tekun dan serius, saat ia sedang diperhatikan oleh Sang Pemilik perusahaan; Atau seorang siswa akan serius berpikir dan belajar saat ia sedang dihadapi oleh guru yang dihormatinya!. Nah,dengan sedikit ilustrasi seperti itu maka dapat kita bayangkan bagaimana sikap seorang mu’min yang taat bila ia merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah, Tuhannya yang ia cintai dan yang ia takuti azab-Nya?. Tentunya ia akan selalu bersikap hati-hati, berusaha selalu berperilaku sebaik-baiknya, dan dia akan selalu berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah.

Jadi, orang-orang yang Ihsan adalah mereka yang telah memiliki jiwa yang taqwa, yaitu hamba-hamba Allah yang hidupnya sepenuhnya dijalani untuk mengabdi kepada Tuhannya. Sikap hidupnya selalu berhati-hati, segala perilaku atau segala amal-ibadahnya termasuk bagaimana cara bekerjanya akan selalu diupayakan untuk memperoleh kesempurnaan. Segala perilakunya akan selalu didasari oleh sifat kasih sayang, dan akan selalu berusaha menjauhi sikap-sikap yang mengandung aniaya kepada sesamanya. Seseorang yang bersikap Ihsan berarti ia berakhlak Islam, suatu sikap yang tidak meremehkan dalam melaksanakan amal-ibadah, tidak terkandung sifat kemalasan, yang ada justru sifat-sifat kesungguhan, ketekunan, dan kesempurnaan. “Sesungguhnya Allah bersama orang yang taqwa dan berbuat kebaikan”. (QS. An Nahl: 128).

“Ihsan” dalam beribadah, artinya dalam melaksanakan ibadah selalu dilakukan dengan kesungguhan, ketekunan, atau dengan khusuk. Tidak dilakukan secara sembarangan, tidak asal terlaksana saja, serta tidak enggan dan tidak lalai, tetapi selalu dijalankan secara serius guna mencapai nilai kesempurnaan dalam beribadah. Ia laksanakan ibadahnya secara tekun melebihi ketekunan siswa yang sedang dihadapi oleh gurunya. Dan memang, ibadah yang sebenarnya adalah yang dilakukan dengan kesungguhan, ikhlas dan tidak lalai. “Celakalah! Mereka yang shalat, yang lalai dalam shalatnya. Berpura-pura agar dilihat orang saja. Yang enggan memberi bantuan”. (QS. Al Maa’uun: 4-7). Dan, ada pula peringatan lainnya, “Barang siapa (saat puasa) tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya”. (HR. Bukhari).

Bersikap “Ihsan” dalam pergaulan, artinya seseorang mu’min yang Ihsan akan selalu berusaha menjalani pergaulannya secara baik, dengan memperlihatkan sikap yang tawadhu atau rendah hati, yang didasari oleh kesadarannya atas segala kelemahan dirinya di hadapan Tuhannya. “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaknya mereka mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. … (QS. Al Isra’:53). Dalam bergaul seorang yang Ihsan akan selalu bersikap santun, tutur-katanya lembut menjauhi dari ucapan kasar yang menyakitkan hati, bersikap peduli dan tidak egois. Dengan sikap Ihsan ia telah membangun keakraban dan persaudaraan dalam pergaulannya. “. … Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang yang beriman”. (QS. Al Anfal: 1). Seorang yang Ihsan akan terlebih dahulu mengucap salam saat bertemu, dan tak lupa berpamit bila hendak meninggalkannya. Saudaraku, apakah anda telah santun dan tawadhu dalam pergaulan anda?. Tidak saja santun dan tawadhu terhadap orang tua atau guru, tetapi juga santun dan tawadhu terhadap saudara, teman, dan juga terhadap murid ataupun pembantu kita. Ya!, kepada “pembantu” hendaknya kitapun santun dan tawadhu.

Bersikap Ihsan khususnya terhadap orangtua, guru dan keluarga. Dalam hal ini marilah kita tengok sikap kita selama ini, apakah anda sudah terbiasa untuk berpamit dan mencium tangan orangtua anda ketika anda hendak pergi meninggalkan rumah?. Bila belum, cobalah segera lakukan dan biasakan untuk bersikap santun dan tawadhu!, jauhkanlah sikap keangkuhan yang mungkin masih ada!. Seorang yang Ihsan akan selalu menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Iapun akan selalu hormat kepada gurunya dan menunjukkan sayangnya kepada keluarganya. “. … dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. … , maka jangan sekali-kali engkau mengucap ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkan kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang … “. (QS. Al Isra’: 23-24).

Ihsan dalam bekerja. Artinya kita bekerja secara sungguh-sungguh, taat pada aturannya, serta berpegang pada prinsip-prinsipnya. Seseorang yang dalam bekerjanya masih sering malas atau kurang berdisiplin berarti orang itu masih belum Ihsan. Seorang yang Ihsan akan bekerja dengan tekun, ia berupaya untuk selalu dapat mencapai hasil kerja yang sebaik-baiknya. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan atau sembarangan saja. Bila ia seorang pimpinan ataupun guru maka ia akan tunjukkan keteladanannya, ia niatkan untuk dapat memimpin dan atau mendidik secara maksimal agar hasil kerjanya juga dapat maksimal. Sebagaimana nasehat dari orang bijak bahwa, “Pada pekerjaan sekecil apapun tetaplah dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin”. Bila menyapu usahakan sebersih mungkin, bila menata lakukan serapih mungkin, dan bila menghias hasilkan seindah mungkin. Lalu, bagaimanakah pendapat anda sendiri terhadap pejabat, pegawai ataupun guru yang bekerjanya malas dan tidak serius?, mereka menerima upah namun mereka kurang menjaga amanah!, apakah mereka itu tergolong orang yang Ihsan?. Pastilah hati anda tidak akan menyukai terhadap sikap orang-orang seperti itu!, apalagi terhadap mereka yang hanya mementingkan diri sendiri, yang kelakuannya justru sering merugikan masyarakat. Oleh karena itu marilah kita hindarilah sikap-sikap bekerja yang buruk, dan kita gapai sikap bekerja yang Ihsan. “Sesungguhnya di samping kesulitan ada kemudahan. Karena itu, bila engkau telah selesai dari satu pekerjaan, kerjakan pula pekerjaan berikutnya dengan tekun”. (QS. Al Insyirah: 6-7).

Ihsan dalam memperlakukan binatang. Dalam hal ini perlu kita sadari bahwa binatangpun hendaknya kita perlakukan secara baik. Anda tentu ingat pesan Nabi Muhammad Saw. tentang perlunya kita menggunakan pisau yang tajam bila hendak menyembelih binatang Qurban. Berarti kita telah diingatkan agar kita selalu berusaha untuk tidak menyakiti binatang, sampai saat menyembelihpun kita harus berusaha untuk meminimalkan rasa sakit yang akan diderita oleh binatang tersebut. Selain itu Rasulullah-pun melarang kita menjadikan binatang sebagai sasaran dalam latihan memanah atau semacamnya. (HR.Bukhari-Muslim). Dalam kata lain kita hendaknya menghindari perlakuan-perlakuan yang sifatnya aniaya terhadap binatang. Itulah salah satu bentuk sikap yang Ihsan.

Saudaraku, mari kita ulang kembali pernyataan di atas bahwa sikap Ihsan adalah bentuk dari akhlak seorang muslim, yaitu bila melakukan segala sesuatu ia kerjakan dengan tekun dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Karena itu bila kita telah menyatakan diri sebagai seorang muslim maka hendaknya sikap Ihsan itu telah terbentuk dalam pribadi kita. Mari saudaraku, jadikanlah diri kita sebagai manusia yang “Ihsan”, manusia yang dapat memberikan arti serta manfaat bagi orang banyak. Semoga Allah meridhoi.

Yaa Rasyiidu, yaa Mujiibu, teguhkanlah iman kami dan jadikanlah kami sebagai hamba Allah yang “Ihsan”, amiin yaa Allah.


”Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An Nahl: 97).

Wallahu A’lam bial-shawab.
jokosuharto@rocketmail.com, hambarabbani.blogspot.com

MAKNA BEKERJA

"MAKNA BEKERJA"

Oleh: Joko Suharto

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-NAhl: 97).


Manusia di dalam hidupnya akan melakukan aktifitas-aktifitas yang berupa amal-amal perbuatan, apakah itu berupa amal-amal yang baik ataupun amal-amal yang buruk. Amal-amal perbuatan manusia itu dapat berupa aktifitas bekerja ataupun bentuk perbuatan lainnya. Aktifitas bekerja tidak saja dilakukan oleh manusia, tetapi juga dilakukan oleh seluruh jenis mahluk hidup lain yang ada di alam ini. Aktifitas bekerja sangat penting artinya guna memenuhi tuntutan kebutuhan hidup, dan bentuk kegiatan itu tidak hanya berupa kegiatan yang sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum saja, tetapi masih banyak lagi bentuk kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan lain yang berkait dengan tuntutan kebutuhan jasmani maupun rohani, baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk orang lain.

Mengenai kandungan makna bekerja bagi setiap orang bisa berbeda-beda tergantung dari cara pandang mereka masing-masing. Cara pandang seorang yang relegius akan berbeda dengan cara pandang seorang yang berjiwa sekuler, begitu pula cara pandang seorang pekerja aktif akan berbeda pula dengan cara pandang seorang yang pemalas. Bagi kita dalam memaknai bekerja ini hendaknya lebih berpegang pada dasar keimanan terhadap Kebesaran Allah, serta mengingat bahwa manusia hidup berfungsi sebagai khalifah di bumi yang berkewajiban untuk selalu beribadah kepada Tuhannya.

Perhatikanlah kawanan burung yang sedang terbang, pergi pagi pulang petang, dan juga induk ayam yang mengorek-ngorek tanah dengan cakar dan paruhnya, serta perhatikan pula gerak-gerik lebah yang hinggap berpindah-pindah dari bunga yang satu ke bunga yang lainnya, mereka itu semua sedang menjalani aktifitas kehidupan dengan bekerja, ya bekerja dengan cara mereka masing-masing. Lebih lanjut cobalah pula untuk memperhatikan dengan seksama wajah dan gerak-gerik binatang-binatang itu semua, tak kan nampak kelesuan, dan tak nampak pula tanda-tanda keengganan, mereka semua melakukan pekerjaan dengan lapang dada, dengan keikhlasan, tak nampak sikap penyesalan apalagi sikap pembangkangan. Mereka semua telah bertasbih meng-Agungkan Sang Pencipta, dan merekapun bekerja sebagai wujud ibadahnya kepada Sang Pemilik Jagat-Raya.

Bila kita memperhatikan ke sekeliling kita dimana akan banyak kita temui orang-orang yang sedang bekerja. Dan, Sikap bekerja dari orang-orang itu pun bisa bermacam-macam; ada yang bekerja secara tekun dan serius, untuk memperoleh hasil kerja yang sempurna; ada yang bekerja dengan santai, tak peduli terhadap hasil kerjanya; dan ada yang bekerja asal-asalan, tak bertanggung jawab; serta ada pula orang yang malas enggan bekerja tetapi inginnya memperoleh gaji ”buta”. Ada yang bekerja dengan sikap keikhlasan, namun banyak pula yang nampak bekerja dengan sikap keterpaksaan. Lalu, bagaimana dengan kita dalam menyikapi kehidupan ini?, dan bagaimana pula dalam menyikapi kewajiban untuk bekerja?.

Dengan didasari oleh nilai-nilai keagamaan maka kita akan dapat memperoleh beberapa pengertian tentang makna bekerja, yaitu antara lain sebagai berikut:

· Bekerja adalah sebagai ”Rahmat”, karena tanpa adanya Rahmat dari Allah mana mungkin kita memiliki daya untuk bekerja;
· Bekerja adalah ”Amanah”, karena hidup ini tidak hanya untuk sekedar hidup, tetapi menjalani kehidupan ini untuk melakukan segala kewajiban sesuai Perintah Allah;
· Bekerja adalah ”Ibadah”, karena kita hidup dan bekerja pada dasarnya adalah untuk mengabdi kepada Allah dan atau melakukan segala sesuatu untuk tujuan kemaslahatan bersama;
· Bekerja adalah ”amal dan Pelayanan”, karena kita bekerja bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata tetapi justru sebaiknya lebih condong pada upaya untuk memenuhi kebutuhan orang lain;

Selain makna bekerja sebagaimana tersebut di atas, orang juga memaknai bekerja itu sebagai ”Aktualisasi diri”, sebagai ”Kehormatan dan Kepercayaan”, sebagai suatu ”Panggilan”, dan juga ada yang mengatakan bekerja sebagai suatu ”Seni”, serta beberapa pandangan lainnya.

Saudaraku, cobalah kita perhatikan keadaan diri kita, bahwa kita telah memiliki berbagai kemampuan, kita dapat melihat, dapat mendengar, dapat berpikir, dapat bergerak, dan dapat pula melakukan aktifitas-aktifitas lain. Kita telah memiliki kemampuan yang paling sempurna dibanding kemampuan mahluk-makhluk lainnya. Dan, Perlu kita sadari bahwa segala kemampuan kita itu pada hakikatnya bukanlah semata hasil karya kita sendiri, tetapi itu semua adalah anugerah dari Allah; Itulah Rahmat dari Allah!, atas Kasih-Sayang Allah bagi semua mahluk ciptaan-Nya. ”Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu, sedang kamu tidak tahu apa-apa. Lalu diberi-Nya kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An Nahl: 78). Dengan Rahmat Allah itu maka kita akan dapat bekerja, melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Sekali lagi mari kita sadari dan syukuri, bahwa karena Rahmat Allah itulah kita sekarang hidup dan mampu beraktifitas, mampu melakukan segala sesuatu yang bermakna, menghasilkan karya-karya yang jauh lebih hebat dari hasil kerja mahluk hidup lainnya. Dengan rajin bekerja kita akan bertambah kuat, sehat dan bertambah ahli, serta akan kita peroleh pula keberuntungan-keberuntungan lainnya. ”Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Al ’Ankabut: 69).

Saudaraku, kita hidup di dunia ini telah menerima tugas sebagai Khalifah atau ”Penguasa” di bumi, sebagai mahluk yang berkewajiban memimpin, mengatur, dan memelihara alam beserta semua kehidupan yang ada di dalamnya. ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang sebagai khalifah di muka bumi’....”.(QS. Al-Baqarah: 30). Kita telah menerima amanah untuk hidup dan berbuat selaku pemimpin yang bertanggung jawab, yang diminta untuk peduli terhadap kondisi lingkungan dan kepentingan orang lain, untuk bekerja dan bekerja membangun kehidupan menuju kesejahteraan bersama. Sebagai khalifah di muka bumi ini, maka sungguh salah dan merugilah bila seseorang enggan bekerja dan atau tak mau melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab.

Kita tentu akan selalu ingat bahwa hidup kita ini pada dasarnya untuk beribadah kepada Sang Maha Pencipta. ”Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56). Jadi beribadah atau mengabdi kepada Allah adalah suatu kewajiban kita semua, dan salah satu sikap pengabdian kita adalah dengan melakukan aktifitas bekerja atau berikhtiar menghasilkan segala sesuatu yang bernilai kebaikan dan kemanfaatan. Bekerja yang bernilai pengabdian atau ibadah adalah yang dilakukan secara serius dan ikhlas, demi Allah, demi kebaikan, dan demi kebenaran; Yang berarti bilamana seseorang bekerja dengan malas, tidak disiplin atau tidak bertanggung jawab, serta tidak bersifat kebajikan, maka orang tersebut tidak melakukan ibadah kepada Allah, tetapi ia sedang mengabdi kepada dorongan hawa nafsunya saja, sehingga akan merugilah ia. ”Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, sementara Allah membiarkannya sesat .... ?”. (QS. Al-Jasiyah: 23). Karena itu saudaraku, bekerjalah dan lakukan pekerjaan itu dengan serius, tulus-ikhlas, sesuai azasnya, dan yang dilakukan dengan penuh rasa pengabdian kepada Allah Swt. Marilah kita perhatikan sabda Rosulullah Saw.: ”Kebaikan dan kenikmatan adalah bagi orang yang menyembah Tuhannya dengan sebaik-baik kepatuhan, dan melayani Tuhannya dengan tulus ikhlas”. (HR. Imam Bukhari).

Saudaraku, kita hidup tidaklah semata untuk diri kita sendiri, tetapi kita hidup dan bekerja pada hakikatnya untuk kepentingan bersama dan atau demi orang lain. Bila semakin bermanfaat keberadaan diri kita ini bagi orang lain, maka akan bertambah baiklah nilai kehidupan kita sebagai hamba Allah. Karena itu selayaknya bila kita hidup untuk selalu berusaha melakukan amal-amal shaleh, memberikan keuntungan bagi orang lain, bekerja untuk membantu, memberi dan atau melayani orang lain. Mari kita sadari bahwa memberikan layanan yang baik kepada orang lain adalah merupakan salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan kita terhadap kehendak Allah. Dan, untuk dapat melayani dengan baik tentu dibutuhkan sikap yang tawadhu, tidak angkuh, serta didasari oleh adanya rasa kasih sayang kepada sesama. Selain itu agar kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan bekerja secara baik dan bersungguh-sungguh maka perlu pula kita yakini bahwa kebahagiaan yang sebenarnya justru berada pada sikap memberi layanan, dan bukan pada saat menerima pemberian. ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta merendahkan diri kepada Tuhannya, mereka itu penghuni surga, dan kekal di dalamnya”. (QS. Hud: 23).

Dalam menjalani kehidupan ini hendaknya kita menjalaninya dengan bergairah, dan melakukan pekerjaan dengan bergairah pula, tidak terjerat dalam kondisi sikap yang bermalas-malas agar tak merugi dalam menempuh kehidupan kita ini. Orang yang malas dan kurang memiliki rasa tanggung jawab adalah orang yang kurang menghargai waktu serta melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat memaknai kehidupannya melalui perbuatan atau amal-amal kebajikan. Orang yang seperti ini telah lupa terhadap kesempatan hidupnya yang tak kan berlangsung lama dan ia pun lupa bahwa kesempatannya untuk dapat berbuat kebajikan juga tak kan selamanya ia peroleh, ia akan mengalami kerugian yang sangat besar bila sekiranya amal kebajikan belum sempat ia lakukan ternyata ia telah mati dijemput ajal.

Mari saudaraku kita bekerja dengan sebaik mungkin, dengan kesungguhan, dengan ketekunan, serta dengan keikhlasan, mengikuti azas dan prinsip-prinsipnya, atau dalam kata lain kita bekerja dengan sikap yang Ihsan. Hindarilah cara bekerja yang asal-asalan, karena cara bekerja yang asal-asalan bukanlah suatu perbuatan pengabdian kepada Allah, tetapi itu justru suatu perbuatan yang terbawa oleh dorongan nafsu syaitan, sadarilah itu!. Bila mana dalam kita bekerja tidak kita lakukan secara benar, lalu kapankah kita akan beribadah kepada Allah?. Hari ini kita masih hidup dan masih berkesempatan, entah hari esok kita tidak tahu!. Semoga kita dapat menjadi hamba Allah yang sebaik-baiknya. Insya Allah.


”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan akan memberinya petunjuk karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, dimana mengalir sungai-sungai di bawahnya”. (QS. Yunus: 9).



Wallahu A’lam bial-shawab.
jokosuharto@rocketmaail.com, hambarabbani,blogspot.com

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN

MENEGAKKAN PRINSIP-PRINSIP MENDIDIK
DALAM UPAYA
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh: Joko Suharto

Berbicara tentang peningkatan mutu pendidikan, maka perlu kita akui bahwa mutu pendidikan di negara kita saat ini relatif masih tertinggal dari kemajuan pendidikan pada negara-negara tetangga. Dalam menilai terhadap mutu pendidikan, setiap orang akan melihat dari sudut pandangnya masing-masing, ada yang memandang dari sudut perolehan nilai hasil Ujian Nasional, ada yang melihat dari sudut tingkat keberhasilan lulusannya dalam menghadapi seleksi masuk perguruan tinggi atau masuk ke dunia kerja, dan, ada pula yang menilai dari sudut hasil perubahan sikap para siswa, atau dari sudut-sudut pandang lainnya.

Dalam hal upaya kita untuk meningkatkan mutu pendidikan baik bagi pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, maka kami ingin mengajak untuk kembali menengok kepada pengertian dan makna mendidik itu sendiri. Bahwa; ”Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mengajak peserta didik menuju kedewasaan susila”, atau dalam kata lain; ”Pendidikan merupakan suatu kegiatan pewarisan nilai-nilai budaya”. Mendidik berarti membangun karakter, dan juga mendidik merupakan upaya untuk membangun kecerdasan dan kompetensi, yang berarti pendidikan akan mewarnai bentuk budaya masyarakat.

Karena fungsi pendidikan sifatnya begitu penting dan mulia, maka dalam penyelenggaraannya perlu diterapkan prinsip-prinsip mendidik secara benar, sehimgga kita akan dapat mencapai tujuan dari kegiatan pendidikan sebagaimana yang kita harapkan. Janganlah sampai kita menyelenggarakan suatu sekolah tetapi dalam pelaksanaannya telah mengabaikan prinsip-prinsip mendidik yang seharusnya ditegakkan. Bilamana kita telah menyimpang dari prinsipnya, berarti kita telah keluar dari fungsi mendidik itu sendiri.

Tentang program pembangunan bidang pendidikan yang kita laksanakan saat ini, di samping berusaha untuk memenuhi SDM yang berkualitas serta menyiapkan fasilitas belajar yang memadai, maka upaya menuju penegakan prinsip mendidik juga merupakan suatu unsur pokok yang harus dapat diwujudkan secara baik. Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan pembangunan pendidikan antara lain harus diarahkan untuk selalu memperhatikan dan menyentuh faktor tegaknya prinsip-prinsip mendidik tersebut, agar semua lembaga sekolah akan dapat selalu menampilkan diri sebagai ”Wawasan Wiyatamandala”, yaitu sebagai pusat pendidikan bagi lingkungan masyarakat sekitarnya.
Prinsip-prinsip mendidik yang harus selalu dapat kita tegakkan di dalam dunia pendidikan kita adalah:
1. Pendidikan harus dilaksanakan dengan Taat Azas;
2. Pendidikan dilaksanakan melalui Keteladanan/Panutan;
3. Pendidikan harus diselenggarakan secara Sadar-Serius;
4. Pendidikan dilaksanakan secara Jujur-Obyektif;
5. Pendidikan dilaksanakan dengan didasari Kasih-Sayang.

Prinsip ”Taat Azas”, berarti penyelenggaraan pendidikan harus kita laksanakan secara benar, yaitu mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan dan atau yang disepakati, jangan sampai ada sekolah atau guru yang justru sering melanggar aturan. Ketaatan itu antara lain dalam hal pendirian sekolah harus dilakukan sesuai ketentuannya, program kurikulum diterapkan secara konsekwen, ketentuan tentang standar penyelenggaraan sekolah dipatuhi, dan lain sebagainya. Mengapa harus seperti itu?, tentu karena sekolah dan guru adalah unsur penyelenggara pendidikan yang mengajari peserta didik dan masyarakat untuk mematuhi aturan. Apa jadinya bila yang mengajari sendiri sudah tidak patuh terhadap aturan?.

Prinsip ”Keteladanan/Panutan”, yang artinya pendidikan akan dapat berjalan secara efektif mencapai tujuannya bila para penyelenggaranya atau para gurunya memberikan keteladan atau pantas menjadi panutan. Kita tentu menyadari benar bahwa proses pendidikan akan berjalan baik bila dilakukan melalui keteladanan tersebut, tanpa itu rasanya tak mungkin tujuan pendidikan akan dapat kita capai. Jadi pihak sekolah, para penyelenggara, para pembina, para orangtua, dan warga masyarakat yang peduli, hendaknya dapat selalu menunjukkan keteladanannya dalam menegakkan nilai-nilai kehidupan, dengan menghindari pemberian contoh kelakuan yang bersifat tidak mendidik. Bila kita ingin mengharapkan peserta didik dapat menjadi manusia yang bersemangat maka gurunya dulu yang harus semangat. Dan, bila peserta didiknya diharap memiliki disiplin tinggi maka gurunya dulu yang harus berdisiplin. Bukankah kita hendak mewariskan nilai-nilai kehidupan?

Prinsip ”Sadar dan Serius”, artinya penyelenggaraan pendidikan jangan sampai dilakukan secara asal-asalan, karena kesalahan dalam mendidik akan berdampak luas dan panjang terhadap ”buruknya” karakter peserta didik dan budaya masyarakat. Pendidikan harus kita lakukan secara kesadaran penuh serta dengan serius, jangan sampai terjadi kesalahan-kesalahan dalam mendidik. Bila kita mengharapkan kehidupan masyarakat yang maju sejahtera maka wajib bagi kita untuk memberi perhatian penuh kepada penyelenggaraan pendidikan ini. Bila rendah mutu sekolahnya maka akan rendah pula mutu masyarakatnya.

Prinsip ”Jujur dan Obyektif”, artinya pendidikan harus kita laksanakan dengan kejujuran dan penilaianpun harus dilakukan dengan obyektif. Dalam kata lain pendidikan memerlukan pernyataan ”Yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah”. Bila kita melaksanakan pendidikan dengan tidak jujur dan atau tidak obyektif maka berarti kita telah melakukan pembohongan kepada masyarakat, dan dampak negatifpun akan muncul dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan masyarakat selanjutnya. Perlu disadari bahwa ketidak jujuran penyelenggara pendidikan dan proses penilaian yang tidak obyektif akan menurunkan minat dan semangat belajar para peserta didik, yang akhirnya akan menurunkan mutu hasil pendidikannya. Karena itu maka pihak sekolah, para guru, dan seluruh pihak yang terlibat di dalamnya dituntut untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan dengan didasari oleh kejujuran serta melaksanakan penilaian secara obyektif.

Prinsip ”Kasih-Sayang”, artinya mendidik haruslah didasari dengan adanya kasih sayang dari sang guru terhadap para peserta didiknya. Tidaklah mungkin terjadi proses pendidikan yang efektif bila tanpa adanya kasih sayang, karena di dalam proses pendidikan berlangsung adanya saling interaksi antara guru dan murid, yang prosesnya akan dapat berlangsung baik dan lancar bila dalam interaksi tersebut telah terjalin adanya ”ikatan emosinal” antara kedua pihak. Peserta didik akan sulit menangkap informasi yang disampaikan guru bila sang murid tak suka pada gurunya, begitupun sebaliknya, sang guru akan malas mengajar bila ia tak suka pada muridnya.

Berbagai pengalaman telah banyak kita miliki, dan contoh-contoh telah banyak kita lihat, namun ternyata betapa pendidikan di negara kita ini nampak masih sulit untuk maju mengejar kemajuan negara lain. Mengapa?. Faktor utamanya adalah karena kita kurang memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya kita tegakkan. Masih banyak pihak penyelenggara/pelaksana pendidikan yang tidak taat azas, yang tidak memberikan keteladanan, yang tidak serius, yang tidak jujur, dan yang tidak obyektif. Inilah kendala-kendala utama yang harus kita perbaiki kembali, dan untuk itu perlu kepedulian kita bersama untuk saling membantu, membina pendidikan secara lebih sinergi.

Kita sadari bahwa penyelenggaraan pendidikan yang baik itu sangat membutuhkan keseriusan, tidak saja keseriusan dari pihak guru, tetapi juga keseriusan dari pihak Pemerintah dan masyarakat. Karena itu kita sangat mengharapkan adanya perhatian pihak Pemerintah yang serius, terselenggaranya kegiatan belajar-mengajar yang serius, pelaksanaan ujian yang jujur dan serius, juga adanya sistem penilaian yang dilaksanakan secara serius dan obyektif.

Semoga mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Jakarta, 9 Agustus 2007.

Joko Suharto.

Senin, 10 Agustus 2009

PINTU SYAITAN

PINTU SYAITAN
Oleh: Joko Suharto


“Dan demikian untuk setiap Nabi Kami jadikan musuh yang terdiri dari Syaitan-syaitan manusia dan jin, sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain kata-kata indah sebagai tipuan. Dan jika Tuhanmu menghendaki tentu mereka takkan bisa berbuat begitu, maka biarkanlah mereka bersama dengan segala kebohongannya”. (QS. Al-An’am: 112).


Syaitan, adalah sebuah nama dari segala perilaku keburukan, suatu kekuatan atau energi kejahatan yang akan menyeret manusia ke dalam kesesatan, yang selanjutnya akan dapat memasukkan manusia ke dalam kesengsaraan dan kepedihan yang berkepanjangan. Syaitan, adalah pembisik kejahatan, musuh nyata bagi manusia, yang hidup tidak saja diluar diri manusia tetapi juga ada dalam setiap diri manusia. Kehidupan kejahatannya dimulai sejak dari pembangkangan Iblis kepada Tuhannya, dan yang akan terus berkembang merajalela hingga akhir zaman. Iblis berkata: ”Inikah manusia yang Engkau muliakan lebih dari padaku?, jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat niscaya akan aku sesatkan anak keturunan mereka semuanya, kecuali sebagian kecil”. (QS.Al-Isra’: 62).

Allah telah berulangkali mengingatkan kepada manusia agar selalu waspada terhadap bujuk-rayu syaitan, karena syaitan tersebut merupakan musuh yang nyata bagi mereka. ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Al-Baqarah: 208). Tingkat kewaspadaan manusia akan dapat lebih berarti bila manusia dapat mengenali keberadaan syaitan yang dimaksud dengan mengetahui ”wujud-wujud”-nya, sifat-sifatnya, akal bulusnya atau godaan-godaannya, dan juga mengetahui pintu-pintu masuk segala bisikan syaitan tersebut.

”Wujud” syaitan dapat berupa tingkah laku yang nampak indah menggoda namun menyesatkan, dapat pula berupa sikap laku yang buruk tapi ”menjanjikan”, atau berupa bisikan-isikan lembut yang mengasyikkan, dan dapat pula berupa angan-angan dalam pikiran, gejolak hasrat dalam dada, ataupun niat-niat buruk dalam hati, serta dalam bentuk wujud godaan lainnya. Jadi ”wujud” syaitan itu dapat nampak secara jelas terlihat oleh mata, yang menggoda dengan kata-kata, dengan gerak tubuh atau paras yang mempesona, dengan lezatnya makanan, dengan kemewahan harta benda, ataupun dengan ajakan untuk bermalas-malasan. Dan, Syaitan-pun akan dapat muncul secara tersembunyi di dalam diri kita yaitu di alam pikiran, naluri atau nafsu hasrat kita, dan di dalam hati atau perasaan kita.

Berbicara tentang energi jahat atau kekuatan syaitan tersebut maka kita perlu mengingat terhadap adanya kesalahan atau dosa-dosa besar yang telah diperbuat oleh mahluk-mahluk Allah di masa lalu yaitu di masa mula-mula kejadian nenek moyang manusia. Dosa-dosa yang diperbuat itu adalah; pertama, kesalahan Iblis yang telah membangkang terhadap perintah Allah untuk sujud kepada Adam a.s., hal mana merupakan sikap angkuh dan kesombongan dari Sang Iblis, yang di dalam alam pikirnya ia menganggap bahwa dirinya lebih mulia dari Adam karena ia diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah. ”... . Saya lebih mulia dari padanya; Engkau ciptakan saya dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.(QS. Al-A’raaf: 12). Kesalahan besar kedua dilakukan oleh Adam a.s., yaitu saat ia menuruti bujuk-rayu Syaitan untuk mendekati ”Syajaratulkhuldi” dan memetik buahnya yang dibisikkan sebagai buah ”Kekekalan” atau suatu syarat untuk memperoleh kenikmatan abadi. Saat itu Nabi Adam tidak mampu menahan nafsu nasratnya untuk memperoleh ”keabadian” tersebut. Meskipun Nabi Adam telah memperoleh kenikmatan yang istimewa dalam Surga, masih saja ia menginginkan tambahan kesenangan lain yang dibayangkan lebih besar dan bersifat abadi. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi adam telah terhanyutkan oleh sifat keserakahannya!, dan Nabi Adam telah melakukan dosa, sungguh betapa besar penyesalannya. ” ... . Ya Tuhan kami, Kami telah telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk sebagai orang yang merugi”.(QS. Al-A’raaf: 23). Kesalahan besar yang ketiga adalah kesalahan dari anak keturunan Nabi Adam di masa mereka mulai hidup di bumi, yaitu kesalahan besar yang telah diperbuat oleh anaknya yang bernama Qabil yang telah tega membunuh saudaranya Habil karena didorong oleh adanya penyakit hati iri dan dengki. ”Maka meluap hawa nafsu Qabil untuk membunuh saudaranya. Lalu dibunuhnya, maka jadilah ia orang yang merugi”.(QS. Al-Maidah: 30).

Banyak bentuk dosa manusia karena sikap dan perilaku hidupnya, namun bila kita renungkan tentang apa sebenarnya unsur utama pendorong perilaku dosa-dosa tersebut, maka akan kita ketahui bahwa terdapat tiga unsur kekuatan dalam diri manusia yang menjadi sumber atau pendorong perbuatan dosa tersebut. Dalam kata lain terdapat tiga pintu utama dalam diri manusia sebagai pintu masuknya syaitan dalam menggoda kita untuk melakukan dosa-dosa. Pintu masuknya syaitan-syaitan itu adalah:

Kesatu, Syaitan masuk dan atau berada di dalam diri manusia dengan melalui alam pikiran kita, yang akan menumbuhkan pikiran yang mengarah kepada sifat egoisme dan membanggakan diri, yang menganggap diri mulia atau lebih hebat, yang selanjutnya akan memunculkan sikap angkuh dan sombong, suka pamer, riya’, berangan-angan kosong, serta sikap-sikap lain semacamnya. ”Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”.(QS.An-Nissa’:120). Sikap bangga, merasa diri mulia, tinggi hati atau angkuh, dan sombong, seperti itulah yang telah ditunjukkan oleh Iblis saat ia membangkang dari perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Sabda Rosulullah saw., ”Tidak dapat masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat rasa sombong walaupun hanya sekecil debu”.(HR. Muslim, 71). Dengan adanya energi keburukan yang dapat muncul di dalam alam pikiran kita itu maka hendaknya kita mampu untuk mengatasinya, dan cara-cara untuk dapat mengatasi kekuatan syaitan tersebut adalah dengan mengikuti ajaran-ajaran agama, yaitu dengan melakukan ritual-ritual ibadah yang antara lain dengan mengerjakan ibadah sholat secara tekun, dan atau dengan menyempurnakan sujud-nya, berusaha untuk selalu ber-”tawaf”, banyak berdzikir, shalat malam, dan juga banyak belajar dan atau mengaji. Adapun bentuk atau tanda telah tercapainya kemenangan kita dalam melawan kekuatan syaitan tersebut antara lain ditunjukkan oleh terbentuknya sikap-sikap mulia pada diri kita dalam menjalani kehidupan ini, yaitu sejauh mana kita telah dapat menjadi hamba Allah yang ”Tawadhu”, yang cerdas dan paham agama, serta semakin tebal keimanannya, dan juga memiliki cara berpikir yang menjauhi angan-angan kosong.

Kedua, Syaitan masuk dan atau berada dalam diri kita melalui aliran darah kita, yaitu berada dalam kekuatan nafsu hasrat kita, baik dalam nafsu hasrat perut, nafsu hasrat birahi, hasrat kenikmatan, kesenangan, keserakahan, kekuatan, dan dorongan emosi, serta segala nafsu lain yang didorong oleh tuntutan biologis. ”Sejahat-jahat musuhmu adalah nafsumu yang terletak di antara dua lambungmu”,(Riwayat Al Baihaqi). Bentuk sikap-sikap buruk yang ditimbulkannya antara lain dapat berupa sikap rakus/ serakah, gila harta, gila jabatan, gila kenikmatan dunia, mengedepankan emosi, selalu tergesa-gesa, suka terburu nafsu atau tidak sabar, dan bisa juga bersifat sebaliknya yaitu maunya senang sendiri dengan hidup bermalas-malasan. Tentu kita pernah menemui adanya orang yang sikapnya begitu mengagungkan terhadap citarasa makanan atau orang yang sangat suka makan, yang bila memperoleh kesempatan mendapatkan makanan ia tak cukup untuk mengambil ala kadarnya, ia merasa tak puas bila tak mengambil jumlah yang banyak, dorongan hawa nafsu lambungnya mengajak ia bersikap rakus. Diriwayatkan dalam hadits, dari Ibnu ’Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: ”Orang-orang kafir makan dengan tujuh perut, dan orang mu’min makan dengan satu perut”. (HR. Muslim, 1969). Ada pula orang yang gila pada kesenangan dunia, saling merebut kursi jabatan tanpa mengindahkan etika dan aturan; mengejar harta benda, menghitung-hitung harta kekayaan dunia sampai ia lupa terhadap kematiannya. Tak sedikit pula kita temui orang yang cepat naik darah atau suka marah-marah, tak mampu mengendalikan emosi, sehingga mudah melakukan aniaya terhadap orang lain. Dan juga akan kita temui pula adanya orang-orang yang tanpa malu-malu mengumbar nafsu birahinya, seolah-olah pemenuhan nafsu birahi itu merupakan suatu kebahagiaan tertinggi baginya. Begitulah sebagian dari sikap buruk yang ditimbulkan oleh pengaruh bujuk-rayu syaitan. Lalu, bagaimanakah cara kita untuk dapat mengatasi segala kekuatan nafsu hasrat atau kekuatan syaitan yang berada dalam aliran darah kita itu?. Agama telah memberikan tuntunan kepada penganutnya untuk melakukan ibadah-ibadah baik berupa ibadah yang hukumnya wajib maupun sunnah, yaitu untuk berpuasa, ber-qurban, melaksanakan rukun ”jumroh” dalam ibadah haji, yaitu dengan melempar jumroh ke tiga sasaran yang disebut jumroh Aqabah, Wustha, dan Ula, serta tidak lalai dalam mendirikan shalat dengan meratakan punggung dalam rukuknya. Cobalah rasakan betapa kita akan semakin sabar bila kita rajin berpuasa, dan betapa kita akan semakin mampu mengendalikan emosi setelah kita melempar jumroh yang dilakukan secara ihsan, dan juga betapa akan semakin tenang hati kita bila kita kerjakan sholat dengan tuma’nina. Demikianlah saudaraku, bahwasanya manusia yang telah mampu menaklukkan kekuatan syaitan yang ada dalam nafsu hasratnya adalah seorang manusia yang telah memiliki sikap ”Sabar” dan ”Zuhud”, yaitu manusia berjiwa tenang yang tidak tergila-gila terhadap kesenangan duniawi.

Ketiga, Syaitan masuk dan berada dalam diri manusia melalui hati dan perasaan. Di dalam hati manusia ini Sang Syaitan akan menumbuhkan rasa iri dan dengki, licik serta tidak jujur, yaitu suatu penyakit yang mengotori hati. Dengan adanya penyakit iri-dengki, licik, serta tidak jujur dalam hati tersebut maka akan tumbuh sifat-sifat pendendam, jahat, curang, suka menyebar fitnah, dzalim, dan lain sebagainya. Bila penyakit hati itu menjadi semakin parah maka dapat dikatakan bahwa orang itu telah memiliki hati yang jahat, hati yang kotor, hati yang bengkok, atau mungkin sampai dikatakan sebagai orang yang tidak punya hati-nurani. Sungguh akan sangat merugi sekiranya seseorang telah mengotori hati sehingga hatinya itu menjadi terhijab dan keras membatu. Lalu, bagaimanakah cara kita untuk dapat menyelamatkan hati kita ini agar hati kita dapat menjadi hati yang lembut dan bening, hati yang mampu menerima cahaya kemuliaan yang di pancarkan oleh Allah?. Sebagaimana tuntunan dalam agama, untuk dapat mengatasi dan mengusir Syaitan dari dalam hati kita ini maka kita harus gigih untuk memeranginya, yaitu dengan memaksakan diri kita untuk dapat menjadi orang yang penyantun, yang mau dan yang suka memberi atau menolong orang lain. Yang berarti kita harus disiplin dalam membayar Zakat sesuai ketentuannya, dan kita juga harus sering bersadaqah, ber-infak, suka menolong orang, menjadi orang yang pemaaf, serta melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. ”Pungutlah shadaqah dari sebagian harta-harta mereka, yang akan membersihkan dan menyucikan jiwanya dari noda-noda kikir, serakah dan kejam terhadap fakir miskin. ... ”. (QS. At-Taubah: 103). Dalam hadits diriwayatkan bahwa Musa bin Anas mendapat cerita dari Bapaknya, katanya: ”Tidak pernah Rosulullah saw., bila diminta sesuatu atas nama Islam, melainkan selalu dipenuhinya. Pada suatu hari datang kepada beliau seorang laki-laki, lalu diberinya kambing banyak sekali sepenuh lembah antara dua bukit. ... ”.(HR.Muslim, 2141). Dan juga, kita hendaknya tidak lalai dalam sholat, dengan menyempurnakan gerak dan bacaannya, dan coba perhatikan dan pahami makna saat ”duduk” dalam sholat kita dimana kita harus banyak memohon ampun, memohon keselamatan, memohon keberuntungan, dan juga tidak lupa untuk mengucap salam keselamatan bagi orang-orang sekeliling kita. Dan juga, pahami makna ”sa’i” dalam haji dimana kita harus lari dari bukit ”kesucian” menuju ”kesuksesan”. Seseorang yang telah mampu melakukan ibadah-ibadah dan atau amal-amal shalih seperti itu yang dilakukannya secara ikhlas semata karena Allah, maka orang tersebut akan memiliki hati yang bersih, lembut, dan ”selamat”. Sungguh beruntung orang yang telah mampu membersihkan hatinya dari berbagai jenis penyakit hati, menjadi hamba Allah yang sejati, menjadi hambanya Sang Maha Pengasih dan Penyayang karena ia telah memiliki rasa kasih-sayang, menjadi hamba dari Sang Maha Suci karena ia telah memiliki jasmani dan hati yang bersih. Sungguh berbahagia !. Sabda Rosulullah Saw : ”Sesungguhnya Allah Tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu”.(HR.Muslim,2194)

Kita ulangi, bahwa terdapat tiga pintu masuk syaitan dalam diri kita, yaitu pertama, syaitan dapat masuk melalui alam pikiran kita; kedua, syaitan dapat masuk melalui naluri atau nafsu hasrat kita; dan ketiga, syaitan dapat masuk melalui hati dan perasaan kita. Karena itu, agar kita dapat terhindar dan selamat dari segala bujuk rayu syaitan tersebut maka kita harus selalu mewaspadainya, menutup pintu masuknya, memerangi dan atau melempari energi-energi syaitan yang akan mencelakakan kita itu. Bila kita lalai dalam hal ini maka sangat mungkin kita akan terjerumus menjadi hamba syaitan atau mungkin juga justru akan dapat menjadi syaitan-syaitan manusia yang menyebarkan keburukan dan kejahatan di muka bumi ini.

”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi karunia”.(QS.Ali Imran: 8).



”Jadilah engkau pema’af dan anjurkan orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang jahil/bodoh. Dan jika kamu dirasuk oleh godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al A’raaf: 199-200).



Wallahu A’lam bial-shawab.

AKHLAK MULIA

AKHLAK MULIA
Oleh: Joko Suharto






Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,…

Wassholatu wassalamu ala assrofil ambiya walmursalin Syaidina Muhammadin Nabiyil umiyi wa ala alihi wasshobihi ajmain. Wa lahaula wa laa quwwata illa billaahi,
Amma ba’du,

Bapak, ibu, dan saudaraku, para hadirin sekalian, kali ini perkenankan saya mengajak untuk membicarakan hal tentang membangun Akhlak mulia.

Bila berbicara tentang akhlak berarti kita berbicara tentang sifat dan kepribadian, tentang budi pekerti, tentang sikap hidup, cara pandang dan cara pikir manusia. Terdapat peringatan dari Allah SWT yang berkaitan dengan akhlak yang harus kita wujudkan pada diri kita antara digambarkan dalam ayat berikut,


“Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak yatim dan orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, orang dalam perjalanan, dan hamba sahayamu. Sesungguh nya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan besar omong”. (QS. An Nisaa’: 36)
Bila kita perhatikan keadaan akhlak manusia secara umum, ternyata masih banyak manusia yang akhlaknya masih kurang baik, hal tersebut dapat kita lihat dari keseharian kehidupan manusia di masyarakat, dengan masih banyaknya kejahatan, pelanggaran aturan, ataupun munculnya sifat-sifat egois dari sebagian warga masyarakat. Dengan adanya keburukan akhlak manusia tersebut tentunya akan dapat merusak keharmonisan, merusak ketentraman, dan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan kehidupan manusia. Tentang bagaimana kita dapat mengetahui baik atau buruknya akhlak seseorang antara lain dapat kita lihat dari sikap hidupnya, dari tutur katanya ataupun dari sifat-sifat kepribadian yang ia tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tolok ukur yang dipakai untuk menentukan nilai kebaikan akhlak adalah berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama dengan contoh-contoh akhlak yang diperlihatkan oleh para Nabi dan para Rosul.

Allah Maha Rahman dan Rahim, dan Allah menurunkan Agama samawi bagi manusia, agama yang akan memberikan kedamaian bagi mereka yang beriman dan patuh kepada segala ajarannya. Cahaya kebenaran yang diturunkan Allah dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rosul yang berisikan nasehat-nasehat, ajaran-ajaran, dan hukum kehidupan, adalah merupakan petunjuk jalan yang lurus dan benar. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul akan banyak kita temui petunjuk tentang bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menjalani kehidupan ini, bila semakin sesuai sikap kita dengan ajaran-Nya berarti semakin baik nilai akhlak kita. Ingatlah bahwa kita beragama bukan sekedar melaksanakan ritual-ritual ibadah saja tetapi yang penting adalah kita harus memahami benar makna dan tujuannya kita beragama, sehingga kita tidak lalai dan dapat selamat dalam menempuh hidup baik di dunia maupun di Akhirat kelak.

Salah satu ajaran yang harus dipatuhi adalah; kita harus menyembah hanya kepada Allah tak ada sekutu bagi-Nya, segala amal yang kita lakukan tak ada tujuan lain hanya karena Allah, dan kita harus berbuat baik selalu kepada kedua orang tua, kepada kerabat handai taulan, kepada anak yatim dan fakir miskin, kepada para tetangga dan hamba sahaya, serta kepada teman-teman dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pendek kata, kita harus berakhlak baik, yang selalu berbuat kebaikan, beribadah kepada Allah Swt selaku khalifah Allah di muka bumi.

Bapak, ibu, dan saudara-saudaraku, dalam kenyataannya tidak terlalu mudah untuk menjadi orang yang berakhlak mulia karena dalam diri setiap manusia terdapat dorongan naluriah, serta adanya bisikan-bisikan syaitan yang menggoda, yang akan memunculkan sifat egois, emosional, ataupun keinginan kuat terhadap kesenangan-kesenangan duniawi yang menggiurkan. Bila seseorang telah ”lupa diri” terbawa oleh nafsu syaitannya maka orang tersebut akan memperlihatkan sifat-sifat yang buruk, dan ternyata hal seperti itu telah menjangkiti banyak orang, atau mungkin juga terdapat pada diri kita sendiri. Sungguh sangat merugi, karena kepada orang-orang yang bersifat buruk telah diancam oleh Allah akan mendapat siksa yang pedih.

Bapak, ibu, dan Saudaraku, kita semua telah memperoleh peringatan, petunjuk dan tuntunan hidup melalui ajaran agama yang disampaikan oleh para Rosul Allah dimana telah diperingatkan bahwa kita harus mengabdi kepada Allah SWT, serta menjadi Khalifah di muka bumi, yaitu menjadi manusia yang menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

”Dan Kami tidak mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”.(QS.Al Anbiyaa’: 107).

Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw serta menurunkan Agama Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta. Kita mengerti bahwa yang dikatakan ”Rahmat” itu merupakan segala sesuatu yang bersifat kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan. Sedangkan sifat kebaikan bersumber dari akhlak, jadi tanpa akhlak yang mulia mana mungkin akan diperoleh rahmat?.

Dengan adanya akhlak yang mulia itulah maka kita akan dapat meraih keselamatan dan kebahagian yang hakiki. Sehubungan dengan itu Rosulullah Saw pernah bersabda, ”Sesungguhnya aku diutus untuk meyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR.Malik).

Dan, terdapat pula sabda beliau, ”Orang yang terbaik dari kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.(HR.Al Bukhari).

Jadi agar kita dapat memperoleh keselamatan dan kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat, maka kita dituntut untuk memiliki akhlak yang baik. Dengan dasar kemuliaan akhlak tersebut maka akan dihasilkan perilaku-perilaku ibadah dan atau amal-amal shalih yang bernilai mulia pula.

Allah maha pemberi Rahmat, dan Rahmat Tuhan yang terbesar bagi Nabi Muhammad Saw adalah berupa akhlak yang mulia dengan sifat lemah lembut dan keramah-tamahannya.

”Oleh karena rahmat dari Allah-lah maka engkau berlaku lunak-lembut terhadap mereka. ... ”.(QS.Ali Imran: 159).

Dengan keteladanan akhlak mulia, Rosulullah mendidik kita untuk menjadi manusia yang manusiawi, yaitu manusia yang Muslim, Mu’min, dan Mukhsin.

Bapak, ibu, dan saudara-saudaraku, bagaimanakah caranya agar kita dapat menjadi seorang ”Mukhsin”, atau pribadi yang berakhlak mulia?

Saudaraku, tentu anda telah menyadari bahwa semua rukun ibadah dalam Islam pada hakekatnya adalah untuk membangun akhlak mulia, baik ibadah sholat, puasa, zakat-shadaqah, maupun haji. Jadi, seseorang akan dapat memiliki akhlak mulia bila dia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut sebagaimana yang diajarkan dalam agama, dan, tentu saja akhlak mulia itu akan dapat terbangun bila kita melaksanakannya secara sempurna.

Di dalam sholat kita menyatakan kebesaran dan keagungan Allah, kita baca ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengingat diri, dan kita mengikrarkan bahwa hanya kepada Allah kita mengabdi dan memohon pertolongan, kita berdo’a memohon petunjuk jalan yang lurus dan benar, jalan yang Allah ridhoi, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai atau jalannya orang-orang yang sesat. Kita tunduk, kita sujud, serta meninggikan dan menyucikan Asma Allah, menyadari atas ”kefakiran” diri kita selaku hamba, kita memohon ampun, memohon rahmat, derajat, rezeki maupun keselamatan, dan kitapun menyampaikan salam serta do’a bagi Nabi Muhammad dan juga bagi makhluk sekeliling kita. Yang berarti kita telah berikrar untuk menjadi hamba Allah yang akan menyebarkan kebaikan dalam hidup bermasyarakat, menjadi manusia yang ber”akhlak”, yang tawadhu, yang tunduk dan taat. Jadi, bila ibadah sholat tersebut dapat kita lakukan secara benar, tertib, tidak lalai, yaitu dengan tuma’nina, ikhlas, khusuk, sejalan antara ucapan, gerak badan dan kata hati, apalagi sering dilakukan dengan berjamaah, maka yakinlah bahwa akan kita peroleh perubahan-perubahan positif pada pribadi kita. InsyaAllah.

”... Dan dirikan sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar... ”.(QS.Al-’Ankabuut: 45).

Dengan sholat, kita akan memperoleh peningkatan keimanan dan akhlak, dan dengan sholat, maka kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela seperti sikap keji dan munkar. Tetapi bagaimana halnya bila seseorang yang sehari-harinya telah rajin melakukan sholat ternyata sikapnya masih menunjukkan sifat-sifat tercela?, maka perlu dipertanyakan sejauh mana kesempurnaan pelaksanaan sholatnya!. Mungkin pernah anda temui seseorang yang baru saja selesai sholat di mesjid ternyata ia masih seenaknya saja melanggar aturan di jalan tanpa malu, atau sudah melaksanakan ibadah Haji tetapi masih melakukan perbuatan-perbuatan keji kepada orang lain!, lalu bagaimana hasil dari sholatnya?, dan bagaimana dengan hajinya?, niat apa sebenarnya yang mendasari pelaksanaan ibadah-ibadahnya itu?. Sekarang bagaimana dengan keadaan kita sendiri?, jangan sampai kita menjadi manusia yang merugi yang telah lalai dalam sholat, sebagaimana yang telah diperingatkan dalam Al-Qur’an dalam ayat berikut ini.



”Celakalah! Mereka yang mengerjakan sholat, yang lalai dalam mengerjakan sholatnya, dan mereka yang riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna”.(QS.Al Maa’uun: 4-7).

Bagaimana dengan ibadah puasa?. Di dalam ibadah puasa-pun terkandung nilai-nilai pembentukan akhlak mulia, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an,
yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.(QS.Al Baqarah: 183).

Tentang taqwa, maknanya sangat luas, di dalamnya terkandung penghambaan, ketaatan, kesungguhan, keikhlasan, kedisiplinan, kejujuran, kesabaran, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Diajarkan bahwa dalam melaksanakan ibadah puasa kita dilarang melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti berkata yang tidak senonoh, memaki, atau berbohong, apalagi sampai berbuat keji kepada orang lain.

”Puasa adalah perisai diri, maka seseorang yang sedang berpuasa janganlah menggauli istrinya, berkata kotor, dan berbuat jahil, jika dia diajak bertengkar atau dicaci hendaklah dia katakan, ’saya sedang berpuasa’”.(HR.Al Bukhari).

Namun, apa iya, seseorang yang seharusnya sabar saat ia berpuasa dibolehkan untuk emosional di saat ia sedang tidak berpuasa?. Sungguh jelas bahwa di dalam ibadah puasa terkandung proses pendidikan untuk memperbaiki akhlak. Dengan berpuasa kita dilatih mengendalikan nafsu hasrat, dilatih sabar, dilatih jujur, dilatih untuk pandai bersyukur, serta dilatih untuk menjadi manusia yang tidak gila duniawi; atau, sebagaimana arti ayat di atas agar menjadi manusia yang bertaqwa. Memang sangat tinggi nilai ibadah puasa ini, karena puasa yang dilakukan oleh seorang hamba yang beriman adalah semata untuk Allah dan Allah-lah yang akan membalasnya.

”Semua amal ibadah anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah utuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya”.(HR.Al Bukhari).

Mari saudaraku kita laksanakan ibadah puasa dengan sesempurna mungkin, jangan sampai puasa kita hanya memperoleh lapar dan haus saja.

Bagaimana dengan Zakat dan bershadaqah?. Melaksanakan ibadah berzakat maupun bershadaqah merupakan penerapan dari sikap kepedulian, kebersamaan, maupun kasih-sayang. Melalui Ibadah Zakat dan shadaqah kita dibentuk untuk menjadi manusia yang memiliki kebersihan jiwa, yaitu manusia yang bersih dan lembut hatinya, yang penyantun, dan yang memiliki rasa kasih sayang serta keikhlasan.
”Pungutlah shadaqah dari sebagian harta-harta mereka, yang akan membersihkan dan menyucikan jiwanya dari noda-noda kikir, serakah, serta sifat kejam terhadap fakir miskin, dan berdo’a-lah untuknya. Bahwasanya do’a-mu itu menumbuhkan ketenteraman hatinya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS.At Taubah: 103).

Ibadah shadaqah tentunya tidak hanya sebatas memberikan harta benda tetapi juga bisa berbentuk bantuan moral atau tenaga, dan memberi seyum pun bernilai shadaqah. Sungguh jelas bahwa pelaksanaan ibadah zakat dan shadaqah merupakan proses pembentukan akhlak mulia. Jadi bila seseorang telah memiliki dorongan kuat dalam batinnya untuk selalu berusaha membantu kesulitan orang lain, dan niatnya itu ia laksanakan dengan tulus ikhlas karena Allah, berarti dalam diri orang tersebut telah tumbuh akhlak yang luhur.

”Sesungguhnya mereka yang beriman dan yang melakukan amal-amal kebajikan, Allah Ar Rahmaan akan menanamkan rasa kasih sayang dalam hati mereka”.(QS.Maryam: 96).

Saudaraku, kini kita sampai pada pembicaraan tentang hubungan antara Ibadah haji dengan pembentukan akhlak. Pelaksanaan ibadah haji relatif cukup berat, selain diperlukan kesiapan fisik juga sangat perlu adanya kesiapan mental. Dalam pelaksanaannya diperlukan pengorbanan, kesabaran dan keikhlasan. Selain itu, sebelum berangkat si calon haji berkewajiban untuk peduli terhadap tetangganya jangan sampai ada yang masih kelaparan. Jadi dalam ibadah haji dari mulai tahap persiapan sudah nampak adanya proses pendidikan akhlak, apalagi pada saat proses haji berlangsung. Dalam ibadah haji ini terdapat pendidikan akhlak yang komprehensif dari mulai membangun kedisiplinan, ketaatan, dan kerendahan hati, sampai pada sikap ketekunan dan kegigihan dalam perjuangan. Di semua Rukun haji terkandung makna pembentukan akhlak, dari mulai tawaf, sa’i, jumroh, maupun wukuf. Sungguh besar dorongan motivasi perbaikan akhlak dalam pelaksanaan ibadah ini, keinginan untuk menjadi seorang hamba yang baik sudah tumbuh sejak terbetiknya niat beribadah haji. Di sana kita akan berlaku sangat hati-hati, menjauhi sikap-sikap tercela, menahan diri untuk tidak berkata kotor, tidak jahil, atau berpikir yang negatif. Dan, proses pendidikan akhlak ini akan berlangsung cukup lama yaitu selama para jamaah berada di Tanah suci.

Jadi, dari pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa segala rukun ibadah dalam Islam memang terkandung unsur pendidikan akhlak bagi manusia. Bila ibadah-ibadah itu dapat dilaksanakan secara sempurna maka akan sempurna pula hasil pendidikan akhlaknya; Bila tidak!, berarti terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya.

Saudaraku, bagaimana dengan keadaan akhlak kita saat ini?, dan bagaimana pula kesempurnaan pelaksanaan ibadah-ibadah kita selama ini?; Apakah sudah baik ataukah masih belum?. Lalu bagaimana hasil dari kita beragama, apakah telah membuat kita menjadi orang yang berakhlak mulia?. Bila belum, maka seharusnya kita segera berupaya untuk memperbaikinya, karena kita tidak tahu umur kita , jangan sampai terlambat, kuatir belum sempat kita berbuat ternyata telah dijemput ajal?!. Mari kita sempurnakan akhlak kita melalui niat yang kuat menuju akhlak mulia, berusaha memahami agama, dengan meningkatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah kita, serta tidak lupa selalu berdo’a memohon keridhoan dan karunia hidayah dari Allah Swt. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang beruntung, memiliki akhlak yang mulia; Amiin.

”Sesungguhnya pada diri Rosulullah itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya pada hari akhirat, lagi pula dia banyak mengingat Allah” (QS.Al Ahzab: 21).


Subbhanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Wallahu A’lam bial-shawab.

Wassalmu alaikum warrahmatullahi wa barakatuh