Minggu, 16 Agustus 2009

PRIBADI IHSAN



"PRIBADI IHSAN"
Oleh: Joko Suharto, hambarabbani.blogspot.com


“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu”. (QS. Al Kahfi: 30).

Dalam hal pengertian Ihsan, terdapat suatu keterangan yang cukup populer di kalangan muslim, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Hadits berikut ini; Umar bin Khaththab menceritakan, bahwa pada suatu hari ketika beberapa sahabat sedang berada di sisi Rasulullah Saw., sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan dan tidak seorangpun di antara mereka yang mengenalnya, Dia langsung duduk ke dekat Nabi Saw., lalu disandarkannya lututnya ke lutut Nabi, dan diletakkannya kedua telapak tangannya ke pahanya. Dia berujar, “Ya, Muhammad!, terangkan kepadaku tentang Islam!” .. Jawab Nabi Saw., “Islam ialah; (1) Mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad Rasulullah; (2) Mendirikan shalat; (3) Membayar zakat; (4) Puasa Ramadhan; dan, (5) Haji ke baitullah bila sanggup melaksanakannya”. “Engkau benar!”, kata orang itu. Kemudian orang itu kerkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Iman!”.. Jawab Nabi Saw., “Iman ialah; (1) Iman kepada Allah; (2) Iman kepada para malaikat-Nya; (3) Iman kepada kitab-kitab-Nya; (4) Iman kepada para Rasul-Nya; (5) Iman kepada hari berbangkit; (6) Iman kepada Qadar baik maupun buruk”. Orang itu berkata, “Engkau benar!’. Kemudian dia berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan!”. .. Jawab Nabi Saw., “Ihsan ialah ; menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya , sesungguhnya Dia melihatmu”. … (HR. Muslim).

Dari riwayat tersebut di atas dapatlah kita pahami tentang makna dari Islam, Iman, maupun Ihsan. Selain itu kitapun memperoleh suatu pengertian bahwa seseorang hamba Allah yang taqwa adalah mereka yang telah memiliki ketiga derajad tersebut, yaitu; ia telah Islam, Iman, dan juga telah Ihsan. Jadi seseorang yang telah Islam atau telah masuk ke dalam golongan Muslim, belum tentu ia telah mencapai derajad Iman atau Mu’min. Dan meski seseorang sudah termasuk dalam golongan mu’min belum tentu pula ia telah menjadi seorang hamba Allah yang Ihsan. Bisa saja seseorang telah mengucap dua kalimat sahadat namun belum tentu ucapannya itu telah sesuai dengan jiwa dan kata hati nuraninya, dan bisa saja orang mengerjakan ibadah shalat ataupun puasa tetapi ibadahnya itu tidak ia lakukan dengan keikhlasan. Ada orang yang masuk dalam Islam karena keyakinannya yang memang telah tumbuh dalam hatinya, namun ada pula orang yang masuk Islam hanya karena keturunan atau ikut-ikutan saja.

Tentang adanya orang-orang muslim yang belum termasuk ke dalam golongan mu’min memang sudah diisyaratkan sejak awal, yaitu sebagaimana telah di peringatkan di dalam Al Qur’an, “Orang-orang Arab pedalaman itu berkata, ‘kami telah beriman!’. Katakanlah kepada mereka, ‘Kamu belum beriman!’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah Islam!’, sebab iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan kalau kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat: 14). Lalu, bagaimanakah ciri-ciri dari seorang mu’min?. Berikut ini adalah beberapa ciri seorang Mu’min yang diterangkan di dalam Hadits, yaitu sebagai berikut: “Barang siapa menyenangi amalan kebaikan dan merasa sedih terhadap keburukan, maka ia adalah seorang Mu’min”. (HR. AL Hakim). Dan, “Seorang Mu’min bukanlah pengumpat dan yang suka mengutuk, yang keji dan yang ucapannya kotor”. (HR. Bukhari). Jadi bila ada seorang yang mengaku Muslim tetapi ternyata kelakuannya masih buruk sebagaimana yang digambarkan di atas berarti ia masih belum tergolong sebagai seorang mu’min. Seorang Muslim yang mu’min itu adalah hamba Allah yang menyenangi amalan kebaikan dan yang selalu berupaya menjauhi sikap-sikap keburukan. Lalu, bagaimana dengan keimanan kita dan keimanan diri anda sendiri?. Apakah kira-kira kita ini sudah tergolong sebagai orang yang Mu’min?.

Mengenai pengertian Ihsan, sebagaimana Hadits tersebut di atas Rasulullah Saw. telah memberikan suatu keterangan yang cukup ringkas tetapi terkandung makna yang luas dan mendalam. “Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Cobalah anda perhatikan betapa seseorang pegawai Perusahaan akan menunjukkan sikap kerja yang baik, tekun dan serius, saat ia sedang diperhatikan oleh Sang Pemilik perusahaan; Atau seorang siswa akan serius berpikir dan belajar saat ia sedang dihadapi oleh guru yang dihormatinya!. Nah,dengan sedikit ilustrasi seperti itu maka dapat kita bayangkan bagaimana sikap seorang mu’min yang taat bila ia merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah, Tuhannya yang ia cintai dan yang ia takuti azab-Nya?. Tentunya ia akan selalu bersikap hati-hati, berusaha selalu berperilaku sebaik-baiknya, dan dia akan selalu berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah.

Jadi, orang-orang yang Ihsan adalah mereka yang telah memiliki jiwa yang taqwa, yaitu hamba-hamba Allah yang hidupnya sepenuhnya dijalani untuk mengabdi kepada Tuhannya. Sikap hidupnya selalu berhati-hati, segala perilaku atau segala amal-ibadahnya termasuk bagaimana cara bekerjanya akan selalu diupayakan untuk memperoleh kesempurnaan. Segala perilakunya akan selalu didasari oleh sifat kasih sayang, dan akan selalu berusaha menjauhi sikap-sikap yang mengandung aniaya kepada sesamanya. Seseorang yang bersikap Ihsan berarti ia berakhlak Islam, suatu sikap yang tidak meremehkan dalam melaksanakan amal-ibadah, tidak terkandung sifat kemalasan, yang ada justru sifat-sifat kesungguhan, ketekunan, dan kesempurnaan. “Sesungguhnya Allah bersama orang yang taqwa dan berbuat kebaikan”. (QS. An Nahl: 128).

“Ihsan” dalam beribadah, artinya dalam melaksanakan ibadah selalu dilakukan dengan kesungguhan, ketekunan, atau dengan khusuk. Tidak dilakukan secara sembarangan, tidak asal terlaksana saja, serta tidak enggan dan tidak lalai, tetapi selalu dijalankan secara serius guna mencapai nilai kesempurnaan dalam beribadah. Ia laksanakan ibadahnya secara tekun melebihi ketekunan siswa yang sedang dihadapi oleh gurunya. Dan memang, ibadah yang sebenarnya adalah yang dilakukan dengan kesungguhan, ikhlas dan tidak lalai. “Celakalah! Mereka yang shalat, yang lalai dalam shalatnya. Berpura-pura agar dilihat orang saja. Yang enggan memberi bantuan”. (QS. Al Maa’uun: 4-7). Dan, ada pula peringatan lainnya, “Barang siapa (saat puasa) tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya”. (HR. Bukhari).

Bersikap “Ihsan” dalam pergaulan, artinya seseorang mu’min yang Ihsan akan selalu berusaha menjalani pergaulannya secara baik, dengan memperlihatkan sikap yang tawadhu atau rendah hati, yang didasari oleh kesadarannya atas segala kelemahan dirinya di hadapan Tuhannya. “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaknya mereka mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. … (QS. Al Isra’:53). Dalam bergaul seorang yang Ihsan akan selalu bersikap santun, tutur-katanya lembut menjauhi dari ucapan kasar yang menyakitkan hati, bersikap peduli dan tidak egois. Dengan sikap Ihsan ia telah membangun keakraban dan persaudaraan dalam pergaulannya. “. … Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang yang beriman”. (QS. Al Anfal: 1). Seorang yang Ihsan akan terlebih dahulu mengucap salam saat bertemu, dan tak lupa berpamit bila hendak meninggalkannya. Saudaraku, apakah anda telah santun dan tawadhu dalam pergaulan anda?. Tidak saja santun dan tawadhu terhadap orang tua atau guru, tetapi juga santun dan tawadhu terhadap saudara, teman, dan juga terhadap murid ataupun pembantu kita. Ya!, kepada “pembantu” hendaknya kitapun santun dan tawadhu.

Bersikap Ihsan khususnya terhadap orangtua, guru dan keluarga. Dalam hal ini marilah kita tengok sikap kita selama ini, apakah anda sudah terbiasa untuk berpamit dan mencium tangan orangtua anda ketika anda hendak pergi meninggalkan rumah?. Bila belum, cobalah segera lakukan dan biasakan untuk bersikap santun dan tawadhu!, jauhkanlah sikap keangkuhan yang mungkin masih ada!. Seorang yang Ihsan akan selalu menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Iapun akan selalu hormat kepada gurunya dan menunjukkan sayangnya kepada keluarganya. “. … dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. … , maka jangan sekali-kali engkau mengucap ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkan kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang … “. (QS. Al Isra’: 23-24).

Ihsan dalam bekerja. Artinya kita bekerja secara sungguh-sungguh, taat pada aturannya, serta berpegang pada prinsip-prinsipnya. Seseorang yang dalam bekerjanya masih sering malas atau kurang berdisiplin berarti orang itu masih belum Ihsan. Seorang yang Ihsan akan bekerja dengan tekun, ia berupaya untuk selalu dapat mencapai hasil kerja yang sebaik-baiknya. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan atau sembarangan saja. Bila ia seorang pimpinan ataupun guru maka ia akan tunjukkan keteladanannya, ia niatkan untuk dapat memimpin dan atau mendidik secara maksimal agar hasil kerjanya juga dapat maksimal. Sebagaimana nasehat dari orang bijak bahwa, “Pada pekerjaan sekecil apapun tetaplah dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin”. Bila menyapu usahakan sebersih mungkin, bila menata lakukan serapih mungkin, dan bila menghias hasilkan seindah mungkin. Lalu, bagaimanakah pendapat anda sendiri terhadap pejabat, pegawai ataupun guru yang bekerjanya malas dan tidak serius?, mereka menerima upah namun mereka kurang menjaga amanah!, apakah mereka itu tergolong orang yang Ihsan?. Pastilah hati anda tidak akan menyukai terhadap sikap orang-orang seperti itu!, apalagi terhadap mereka yang hanya mementingkan diri sendiri, yang kelakuannya justru sering merugikan masyarakat. Oleh karena itu marilah kita hindarilah sikap-sikap bekerja yang buruk, dan kita gapai sikap bekerja yang Ihsan. “Sesungguhnya di samping kesulitan ada kemudahan. Karena itu, bila engkau telah selesai dari satu pekerjaan, kerjakan pula pekerjaan berikutnya dengan tekun”. (QS. Al Insyirah: 6-7).

Ihsan dalam memperlakukan binatang. Dalam hal ini perlu kita sadari bahwa binatangpun hendaknya kita perlakukan secara baik. Anda tentu ingat pesan Nabi Muhammad Saw. tentang perlunya kita menggunakan pisau yang tajam bila hendak menyembelih binatang Qurban. Berarti kita telah diingatkan agar kita selalu berusaha untuk tidak menyakiti binatang, sampai saat menyembelihpun kita harus berusaha untuk meminimalkan rasa sakit yang akan diderita oleh binatang tersebut. Selain itu Rasulullah-pun melarang kita menjadikan binatang sebagai sasaran dalam latihan memanah atau semacamnya. (HR.Bukhari-Muslim). Dalam kata lain kita hendaknya menghindari perlakuan-perlakuan yang sifatnya aniaya terhadap binatang. Itulah salah satu bentuk sikap yang Ihsan.

Saudaraku, mari kita ulang kembali pernyataan di atas bahwa sikap Ihsan adalah bentuk dari akhlak seorang muslim, yaitu bila melakukan segala sesuatu ia kerjakan dengan tekun dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Karena itu bila kita telah menyatakan diri sebagai seorang muslim maka hendaknya sikap Ihsan itu telah terbentuk dalam pribadi kita. Mari saudaraku, jadikanlah diri kita sebagai manusia yang “Ihsan”, manusia yang dapat memberikan arti serta manfaat bagi orang banyak. Semoga Allah meridhoi.

Yaa Rasyiidu, yaa Mujiibu, teguhkanlah iman kami dan jadikanlah kami sebagai hamba Allah yang “Ihsan”, amiin yaa Allah.


”Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An Nahl: 97).

Wallahu A’lam bial-shawab.
jokosuharto@rocketmail.com, hambarabbani.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar