Minggu, 27 September 2009

Kecerdasan Spiritual

KECERDASAN SPIRITUAL
Oleh: Joko Suharto

Setiap manusia yang ingin sukses di dalam hidupnya hendaknya memiliki kecerdasan Berpikir, kecerdasan Emosi, kecerdasan Spiritual, dan juga memiliki kecerdasan Sosial. Bila manusia ingin memperoleh kesuksesan yang lebih bernilai atau yang bersifat hakiki maka manusia yang bersangkutan harus mampu berhubungan dan atau beribadah secara benar kepada Tuhannya. Untuk dapat melakukan ibadah atau pengabdian secara benar maka manusia harus menggunakan potensi kecerdasan spiritualnya secara baik. Dengan kecerdasan spiritualnya itu maka manusia akan dapat membaca hati nuraninya, memahami agamanya, menyadari hakekat dirinya, mengenal Tuhannya, yang pada akhirnya harus mampu sampai pada tingkat ”dekat” dengan Tuhannya. Dengan semakin tinggi kecerdasan spiritualnya maka manusia akan semakin mampu memanfaatkan kecerdasan akalnya dan juga akan semakin mampu mengendalikan nafsu hasratnya, sehingga ia akan mampu memilih atau menemukan serta meniti jalan yang lurus dan benar, sehingga dapat mencapai kesuksesan hidup yang sebenarnya.

Membangun kecerdasan spiritual berarti membangun kemampuan diri untuk mengenal fitrahnya, membaca hati nuraninya serta kemampuan untuk menerima cahaya-cahaya dari Tuhannya. Bila dia cerdas maka dia tidak akan tersesat, dan tidak akan mengumbar nafsu duniawi sehingga tidak terjerumus ke dalam sifat-sifat yang mengagungkan kebendaan. Bilamana memang dia cerdas maka dia-pun akan menyadari bahwa apa-pun yang diperolehnya sepenuhnya berkat karunia Ilahi, maka dia akan mampu bertawakal kepada Allah.

Tidak semua orang dapat memiliki kecerdasan spiritual, hal ini terbukti dengan masih banyaknya orang yang sering melakukan aniaya, sering lupa diri atau lepas kendali dalam bersikap, sering merugikan orang lain dan suka melanggar aturan. Di dalam hatinya dimungkinkan masih terdapat keraguan atau penolakan terhadap ajaran agama, sehingga bila ia mengerjakan peribadatan agama atau melaksanakan tugas dan kewajibannya ternyata dia hanya lakukan dengan hati yang kosong tak terkandung rasa pengabdian yang tulus. Itulah suatu contoh sikap orang yang belum mempu mengembangkan kecerdasan dalam kehidupannya.



Allah berfirman: ”Katakanlah, apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi ?, yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupannya di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (QS.Al Kahfi: 103-104).

jokosuharto@rocketmail.com
Hambarabbani.blogspot.com

Kamis, 24 September 2009

BEKAL KEMATIAN




BEKAL KEMATIAN
Oleh: Joko Suharto

“Kullu nafsin dzaa-iqatul mauti”, tiap-tiap jiwa akan merasakan mati (QS.Ali Imran:185), demikian diterangkan di dalam Al-Quran bahwa setiap mahluk hidup pasti akan menemui kematian. Tentang bagaimanakah rasanya kematiaan itu?, tidak ada seorangpun yang akan dapat menjelaskankannya, baik dalam hal proses pencabutan nyawa maupun segala hal yang dialaminya di saat ajalnya tiba, karena setiap orang yang masih hidup belum pernah merasakan mati, sedangkan yang sudah mati tidak akan hidup kembali ke dunia bersama kita lagi. Maka tak akan ada orang yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya rasanya mati dan kejadian-kejadian apa saja yang akan dialami di alam kematian itu.

KEMATIAN, SUATU YANG PASTI DAN MISTERI

Kita sadar bahwa kita semua pasti akan menemui kematian, dan sehubungan dengan kematian itu ada suatu pertanyaan yang barangkali perlu kita renungkan, ”Ingin seperti apakah proses kematian kita?”.

Bila kita coba amati berbagai kejadian yang menyangkut kematian, maka akan kita temui ada orang yang mati melalui proses sakit terlebih dahulu dan ada pula yang mati mendadak. Ada yang matinya berproses lama namun ada pula yang berproses cepat. Ada yang mati di rumahnya tetapi ada yang mati entah dimana tak pernah ditemukan jasadnya. Selain itu, ada jazad yang telah dikuburkan lama namun jasadnya relatif masih utuh terbujur kaku, namun ada yang belum lama dikubur ternyata jasadnya telah lenyap menyatu dengan tanah. Semua itu memang sangat misteri, tak ada seorangpun yang dapat mengatur proses kematiannya sendiri, karena segalanya telah diatur oleh kekuatan yang sangat berkuasa atas alam semesta beserta segala isinya.

“Maka apabila telah tiba ajal mereka, tidaklah mereka dapat meng-undurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mereka dapat mendahulukan-nya”. (QS. An-Nahl: 61).

Datangnya kematian merupakan sesuatu yang sudah pasti, bersifat final dan misteri, yang entah kapan datangnya, dimana, dan bagaimana kejadiannya?, kita tidak tahu !. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila di saat kita masih hidup dapat berlaku lebih bijak dengan banyak mengingat kematian. Entah kapan, kematian kita pasti akan datang dan tubuh kita akan punah habis dimakan tanah dengan proses yang kita tidak tahu seperti apa kejadiannya dan bagaimana pula rasanya. Di alam kematian itu kita tidak mungkin lagi bisa berpikir maupun berbuat karena kita sudah tidak memiliki kemampuan, segalanya telah tamat, hanya tinggal menunggu waktunya untuk dihisab.

MENCARI BEKAL UNTUK KEMATIAN

Meskipun semua orang menyadari bahwa dirinya pasti akan mati, tetapi ternyata tak banyak orang yang hatinya merasa siap, ikhlas, dan tetap tenang untuk menghadapi kematiannya. Tak sedikit orang yang merasa belum siap dan takut menghadapi kematiannya, meski ada sebagian yang menyatakan dirinya siap, tetapi ternyata dihati kecilnya juga tetap saja terselip rasa takutnya. Lalu bagaimana pula dengan tanggapan dan perasaan Anda sendiri pada saat ini?.

Rasa takut terhadap kematian bisa timbul karena adanya kekuatiran akan mengalami rasa sakit yang belum terbayangkan, atau takut akan mengalami siksaan dan kesengsaraan, atau barangkali takut meninggalkan harta kekayaan yang selama ini telah dia kumpulkan, atau takut berpisah dengan kehidupan di dunia yang telah terlanjur dia senangi, atau takut berpisah dengan orang-orang yang selama ini dia kasihi, atau barangkali juga takut karena terbayang badannya akan terbujur kaku dan hancur menyatu dengan tanah, atau timbul rasa takut karena alasan-alasan yang lainnya. Memang banyak orang yang merasa ngeri terhadap kematian, sehingga banyak yang berusaha untuk menghindar dari pembicaraan mengenai kematian.

Saudaraku, kemewahan dunia memang sangat menggiurkan, tetapi hal itu hendaknya tidak membuat kita lupa terhadap kematian. Kita perlu untuk mencari bekal yang diharapkan dapat memberikan kedamaian di alam kematian kita kelak. Upaya mempersiapkan diri dalam menunggu datangnya kematian hendaknya disikapi dengan serius dan dengan cara yang tepat. Bilamana kita telah salah dalam memanfaatkan kesempatan hidup maka akan fatallah akibatnya, Sungguh cerdas dan berutunglah mereka yang di masa hidupnya selalu mengingat kematian dan mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak berguna sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.

Bekal apakah yang perlu kita bawa dalam kematian?.

”Apabila manusia telah mati maka terputuslah dia dengan segala urusan dunia kecuali tiga perkara yaitu (1)Amalnya, (2)Ilmu yang bermanfaat, dan (3)Anak shalih yang mendo’akannya”. (HR. Muslim).

Dengan dimilikinya ilmu yang bermanfaat berarti kita termasuk orang yang cerdas, yang memahami makna hidup, dan dengan banyaknya amal shalih yang kita lakukan berarti kita memiliki hati yang penyantun serta sifat-sifat kebaikan hati lainnya. Rupanya memang sangat erat hubungannya antara sifat hati dengan prilaku seseorang. Yang artinya orang yang hatinya ”baik” akan banyak melakukan perbuatan kebaikan. Sedangkan orang yang berhati ”buruk” tentu akan banyak melakukan keburukan pula. Maka, simaklah isi peringatan berikut ini.

”..., (yaitu) di hari, di mana harta benda dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”, (QS. Asy Syu’araa: 88-89).

Jelas bagi kita bahwa orang-orang beriman yang telah memiliki kebersihan hati-lah yang akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan kelak. Sikap dari orang-orang yang beriman dan telah memiliki hati yang bersih tentu akan banyak berbuat kebaikan dan akan selalu berusaha menghindari perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Sungguh beruntung bila kita memiliki hati yang bersih !.

BANYAKLAH MENGINGAT KEMATIAN

”Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. Mereka pergi membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat”. (HR Ibnu Majah)

Orang yang banyak mengingat kematian adalah orang yang cerdas dan memiliki kemuliaan!. Lalu, bagaimana dengan kita sendiri?, seringkah kita mengingat kematian?, dan sudah siapkah kita menerima datangnya kematian??.

Di dalam kehidupan ini banyak orang yang begitu sibuk mengejar jabatan dan kekuasaan, serta sibuk pula menumpuk-numpuk harta ataupun terlalu asyik menikmati kemewahan dunia, sehingga seringkali mereka lupa terhadap kematiannya. Karena sikapnya itu maka bisa saja terjadi ada orang yang sedang tenggelam di dalam kesibukan dunianya menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba maut datang menjemput. Nyawanya telah dicabut dengan paksa di saat dalam keterkejutannya itu, dan dia mati membawa penyesalan dengan meninggalkan jabatan dan tumpukan harta yang tak sempat dia manfaatkan. Kita tentu menyadari bahwa cara hidup seperti itu merupakan cara hidup yang keliru dan yang sangat merugikan dirinya sendiri mengingat di saat dia belum memiliki persiapan ternyata waktu dan kesempatannya telah habis, dirinya tidak bisa lagi memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya.

KENALILAH SIKAP HATI KITA

Kenalilah sifat kita, kenalilah hati kita, dan ketahuilah pula sudah seberapa bersih dan baiknya hati kita ini!!.

Kadang ada orang yang tidak sadar kalau dirinya sebenarnya tidak tahu, sehingga membuatnya banyak mengalami kerugian di dalam kehidupannya. Agar kita terhindar dari hal seperti itu, kita perlu melakukan penilaian secara jujur kepada diri sendiri tentang sudah seberapa besar kesadaran dan kemampuan kita dalam menjalani kehidupan ini secara baik dan benar. Kita nilai bagaimana sebenarnya kepedulian dan rasa kasih-sayang kita, dan bagaimana pula sikap hati kita dalam menghadapi masalah kehidupan ini, yang antara lain mengenali bagaimana situasi hati kita bila menemui seseorang yang sedang mengalami kesulitan hidup, atau bagaimana situasi hati kita bila menghadapi musibah kehilangan sesuatu yang sangat kita cintai, atau barangkali bila menghadapi kematian dari orang-orang yang sangat kita kasihi, ataupun bagaimana kiranya sikap hati kita bilamana menghadapi datangnya kematian atas diri kita sendiri.

Dari hasil renungan kita dalam membaca pikiran dan perasaan yang timbul di dalam hati kita sendiri itu diharapkan kita akan lebih mengenal sifat pribadi kita yang sebenarnya, dan barangkali pula kita akan memperoleh gambaran bagaimana kira-kira tingkat kesiapan kita dalam menghadapi berbagai persoalan yang mungkin akan timbul di dalam perjalanan kehidupan kita. Lebih lanjut, mulailah belajar menjadi manusia yang mau berqurban dan berbagi, yaitu dengan belajar untuk bisa berpisah dengan harta, belajar berpisah dengan kemewahan dan kenikmatan dunia, serta belajar untuk berpisah dengan orang-orang yang sangat kita kasihi, yang akhirnya kita bisa belajar untuk bisa dengan ikhlas meninggalkan dunia yang fana ini.

Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu lakukan”. (QS. Al-Jumu‘ah : 8)

Memang, untuk dapat memiliki kesadaran dan ketenangan di dalam menghadapi berbagai persoalan hidup diperlukan adanya kecerdasan dan pemahaman terhadap makna kehidupan itu sendiri. Jadi dengan kecerdasan dan keilmuan yang dimiliki maka orang akan dapat menata hatinya untuk mampu menyikapi segala persoalan kehidupannya secara tepat.

Setelah seseorang memahami serta meyakini bahwa segala kejadian yang berkait dengan nasib hidupnya merupakan kehendak dan aturan dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, maka dia akan dapat bersikap tenang dalam menerimanya. Bila keyakinan ini telah terpatri kuat di dalam jiwanya maka dia akan semakin mampu untuk menyikapi segala hal yang berlaku pada dirinya secara benar. Bilamana dia mendapat musibah maka dia akan tetap tenang menerimanya; bila usahanya mengalami kegagalan maka dia pun akan dapat tetap bersikap tegar dalam menghadapinya; dan bilamana dia memperoleh keberuntungan maka orang tersebut akan selalu bersyukur dengan kerendahan hatinya, dan yang berarti tidak muncul sikap keangkuhan dalam dirinya. Demikian antara lain sikap seorang yang telah memiliki ketenangan jiwa.

Ketenangan takkan mungkin bisa kita miliki bila di dalam bathin kita masih terdapat sikap penolakan, kekecewaan, keserakahan, kesombongan serta sikap-sikap lain yang mengandung gejolak bathin. Ketenangan jiwa akan bisa kita wujudkan bila kita telah berhasil menyingkirkan sifat-sifat yang buruk, serta berhasil pula memunculkan sifat-sifat kita yang mulia seperti; sabar, tawadhu, kasih-sayang, qona’ah, tawakal, dan sifat mulia lainnya.

Mengapa seperti itu?. Karena ketenangan itu baru bisa terwujud bila di dalam bathin kita sudah tidak terkandung rasa penyesalan, ketakutan, kekhawatiran, kekecewaan, dan semacamnya. Sebab, bila masih terdapat rasa waswas atau masih suka melakukan dosa-dosa maka mana mungkin akan bisa terwujud suatu ketenangan?. Jadi dengan adanya sifat-sifat mulia itulah yang akan memberikan rasa puas dan memunculkan kondisi ketenangan jiwa karena keridhoan Allah.

LIMA LANDASAN SIKAP HIDUP

Dari pembahasan tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya untuk menumbuhkan ketenangan di dalam hidup dibutuhkan adanya kelurusan iman, kecerdasan berpikir dan bertindak, sikap hati yang baik, sikap kepasrahan atau tawakal, dan rasa kepedulian sosial. Kelima faktor tadi selanjutnya kita sebut sebagai “Lima Landasan Sikap Hidup” yang merupakan persyaratan utama untuk bisa mencapai ketenangan, baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di Akhirat kelak.

Ke-Lima Landasan Sikap Hidup yang dimaksud adalah:
(1) Keimanan yang tauhid; yaitu keimanan yang benar-benar telah masuk kedalam hati dan yang terbebas dari sikap syirik, serta keimanan yang memenuhi cabang-cabang iman.
(2) Kecerdasan; yaitu pribadi yang Alim, yang memahami makna beragama, memahami ajaran/tuntunan agama, dan mengenal Tuhannya.
(3) Kesabaran; yaitu sikap yang telah mampu mengendalikan emosinya, mampu mengendalikan nafsu hasrat dunianya, atau telah memiliki ketenangan dalam jiwanya.
(4) Ketaatan dan Ketawakalan; yaitu sikap tunduk dan berserah diri kepada Allah secara penuh, yang didasari keimanan, ketulusan, dan kerendahan hati.
(5) Kelembutan hati dan perasaan yang menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama atau tumbuhnya rasa kepedulian sosial, disertai semangat atau kesungguhan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan.

Bagaimanakah caranya agar ke-Lima Landasan Sikap Hidup tersebut dapat terwujud di dalam diri kita, sehingga kita dapat hidup tentram serta memiliki bekal untuk kita bawa dalam kematian kita??. Mari kita diskusikan lebih lanjut pada kesempatan lain.
Wallahu A’lam bial-shawab.

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani,blogspot.com

Kamis, 17 September 2009

MENJAGA FITRAH

MENJAGA FITRAH
Oleh: Joko Suharto

”Arahkanlah wawasanmu lurus-lurus kepada Agama Allah, selaras dengan Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia serasi dengan fitrah kejiwaannya. Tidak ada sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah tadi. Itulah Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum: 30).

Agama Allah yang diturunkan bagi manusia adalah agama yang bersifat selaras dengan fitrah kejiwaan manusia, itulah agama yang lurus, agama yang sesuai dengan pancaran cahaya yang ada dalam Nurani manusia, tidak ada pertentangannya terhadap fitrah kejiwaan manusia itu. Kita ketahui dan sadari bahwa pada hakekatnya setiap manusia memiliki fitrah atau pembawaan dasar dalam dirinya. Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna telah dianugerahi oleh Allah untuk memiliki suatu fitrah kejiwaan atau fitrah ”kemuliaan manusia” di dalam Nurani, yaitu suatu fitrah yang suci, yang akan mengangkat derajat diri manusia yang bersangkutan.

Dengan adanya “Fitrah Kemuliaan” pada manusia maka manusia akan memiliki kehalusan dan kepekaan perasaan, kelembutan hati dan ketajaman akal pikiran, serta keluasan pandangan. Inilah salah satu Anugerah dari Allah yang paling berharga bagi manusia sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di dunia agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Dengan adanya fitrah ini maka seorang manusia akan dapat menjadi “Manusia Yang Manusiawi”, yang memiliki derajat lebih tinggi dari mahluk-mahluk lainnya.

“Lalu disempurnakan-Nya kejadiannya,ditiupkan-Nya Ruh-Nya ke tubuhnya, dan diperlengkapi-Nya kamu dengan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, namun sedikit sekali kamu yang bersyukur”. (QS.As Sajdah: 9).

Riwayat dalam Hadist, ”Takutlah firasat (pandang tembus) orang mukmin karena ia memandang dengan Cahaya Allah”. (HR. At Tarmizi).

Keberadaan manusia dengan Ruh yang ditiupkan Allah kepadanya menjadikannya hidup dengan kesempurnaan, memiliki nurani dengan cahaya kasih-sayang, cinta kebersihan dan keindahan, memiliki kepatuhan, kejujuran, dan sifat-sifat kebaikan lainnya. Dengan perlengkapan pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran yang ada padanya maka manusia akan memiliki kemampuan untuk memilah, memilih, dan memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupannya.

Selain memiliki fitrah kemuliaan dalam Hati Nurani, manusia juga memiliki fitrah atau pembawaan lain yang disebut Naluri, yaitu suatu pembawaan dasar yang ternyata juga dimiliki oleh berbagai jenis mahluk hidup lainnya, suatu unsur kekuatan dalam diri setiap manusia yang membuat manusia memiliki ambisi, emosi, nafsu hasrat, mengharap pujian, mencari kebanggaan, menggandrungi kenikmatan, keserakahan dan kikir serta sifat lainnya. sifat-sifat naluriah manusia inilah yang dalam teori ilmu jiwa manusia disebut dengan pembawaan dasar manusia, suatu faktor pembawaan yang menyangkut biologis maupun kejiwaan. Naluri yang berkait denga pembawaan biologis antara lain dengan adanya rasa lapar, haus, kenyang, dan nikmat, serta adanya dorongan keinginan untuk cantik menawan, Tampan dan gagah perkasa.

”Diciptakan manusia dengan fitrah suka terburu nafsu. Kelak akan Ku-perlihatkan juga siksaan-Ku kepadamu. Karena itu tenanglah, jangan terburu nafsu!”. (QS.Al Anbiya: 37).

”Sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan sifat bawaan gelisah dan kikir, bila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah”.(QS.Al Ma’arij: 19-20).

Sifat kemuliaan nurani dan sifat nafsu naluri memang sangat berbeda, ada suatu kata bijak yang dapat kita simak dan kita pahami maknanya yaitu sebagai berikut:
Nafsu akan memandang suatu keindahan dari sisi penampilan fisiknyanya,
Akal memandang suatu keindahan dari sisi penguasaan ilmunya, dan,
Hati memandang keindahan itu dari sisi akhlaknya.

Seseorang yang memiliki Dorongan naluri yang kuat akan membuat orang yang bersangkutan lebih mengikuti keinginan-keinginan nafsunya. Dari awal keinginannya yang hanya sekedar mengejar tuntutan kebutuhan biologis, biasanya akan berlanjut menginginkan harta kekayaan, meskipun sudah mendapat satu bukit emas ia akan berkeinginkan untuk memiliki dua bukit emas, lalu iapun akan menginginkan adanya pengakuan atau jabatan bagi dirinya, ingin terkenal dan ingin penghormatan, tidak berhenti sampai di situ ia akan menginginkan kekuasaan, dan akan terus berkeinginan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi, tak pernah puas!, seperti halnya nafsu Fir’aun!, sampai akhirnya manusia tersebut akan terkejut saat nyawanya sudah dekat ke tenggorokan, ia telah mendekati ajal dalam kondisi memiliki hati yang penuh rasa waswas, Sungguh kasihan ! Nafsunya yang tak terkendali telah menutupi pancaran cahaya nurani, hatinya telah terkotori, terhijab dari Petunjuk Ilahi.

”.....Tetapi ia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsu-nya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika dihalau diulurkan lidahnya, dan jika dibiarkan dia mengulurkan lidahnya juga”. (QS.Al A’raaf: 176).

Dalam jiwa manusia akan terjadi pertentangan antara sifat kemuliaan atau pancaran Cahaya dalam nurani-nya dengan kekuatan sifat naluriah-nya, sikap pembangkangan yang dilakukan atas dorongan nafsu akan selalu diperingatkan atau ditentang oleh nuraninya. Sungguh beruntung orang yang masih dapat mendengar kata nuraninya, dan sangat merugilah orang yang telah buta mata hatinya. Kebutaan hati ini akan dapat terjadi pada orang-orang yang sering melakukan pembangkangan terhadap kewajiban mengabdi kepada Allah, yaitu manusia yang membangga-banggakan diri, yang sering menzalimi orang lain, suka berlaku curang, biasa melanggar hukum, serta dosa-dosa lainnya.

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Yang sebenarnya dalam hati kecilnya dia mengakui keingkaran itu”. (QS. Al ’Adiyaat: 6-7).

”Sesungguhnya kebiasaan yang mereka lakukan itulah yang menutupi hati mereka”. (QS. Al Muthaffifiin: 14).

Saat kelahirannya, manusia masih dalam kondisi suci, jiwanya masih bersih, tanpa noda dosa, namun dalam perjalanan hidupnya akan banyak dosa-dosa yang mereka lakukan, nafsu hasratnya sering muncul tak terkendalikan, sikap pembangkangan terhadap peritah Allah sering kali mereka lakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Namun, selaku hamba dan selaku muslim kita perlu bersyukur, bahwasanya Allah Yang Maha Pengampun telah memberikan Petunjuk, mengingatkan kepada kita agar mau bertaubat membersihkan diri dari noda dosa yang mengotori, serta dapat selalu berusaha untuk menjaga fitrahnya dengan mengendalikan nafsunya. Dan untuk itu Allah telah menyediakan sarananya, Allah telah menurunkan Agama Samawi, Agama Islam yang lurus sebagai petunjuk menuju keselamatan bagi orang-orang yang meyakini.

Agar kita dapat selalu mengendalikan nafsu hasrat naluri kita, maka Islam mengajarkan agar setiap Muslim melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang telah ditetapkan seperti mendirikan ibadah sholat, berpuasa baik yang wajib maupun yang sunnah, membayar zakat dan memperbanyak shodaqoh, melempar ”jumroh” saat ber-haji, serta bentuk ibadah lainnya.

Segala puji bagi Allah yang telah menyediakan suatu bulan suci yang penuh keberkahan yaitu bulan Ramadhan, di mana diajarkan agar dalam bulan suci itu kita meningkatkan mutu ibadah-ibadah kita dengan berpuasa pada siang hari selama sebulan penuh, memperbaiki kesempurnaan sholat, mendirikan sholat malam, membayar zakat, memperbanyak shodaqoh, menghindari perbuatan-perbuatan tercela, serta banyak melakukan tafakur yaitu antara lain dengan ber-itikaf di dalam mesjid. Seseorang yang telah memperoleh rahmat dari Allah yang mampu melaksanakan ibadah-ibadah dalam bulan Ramadhan secara sempurna, bertaubat secara sungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah, serta berupaya untuk memperbaiki kembali segala hubungan dengan sesamanya, maka orang tersebut akan kembali memperoleh kebeningan hati nurani, jiwanya akan kembali bersih dari noda-noda dosa, atau dalam kata lain ia akan dapatkan kembali fitrahnya sebagai manusia yang manusiawi.

Dengan ibadah puasa kita akan memperoleh kekuatan untuk menekan emosi menjadikan diri sebagai manusia yang lebih sabar; Membayar zakat dan banyak bershodaqoh akan membersihkan harta dan menekan sifat kikir dan serakah; Dengan menyayangi anak yatim dan menyantuni fakir miskin akan dapat membuat hati lebih lembut dan bersih; Banyak melakukan sholat malam, dzikirullah dan tafakur akan dapat menghapus hijab yang mungkin telah menutupi hati dan yang akan mempertajam kepekaan nurani dalam membaca cahaya hikmah dari Ilahi. Fitrah ahlak mulia akan tumbuh subur kembali menjadi manusia yang semakin dekat dengan Tuhannya.

”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (QS.Al Baqarah: 222)

Saudaraku, marilah kita berusaha menemukan jati diri kita kembali sebagai seorang manusia yang manusiawi, kembali kepada fitrah kemuliaan kita, memiliki kebeningan hati nurani, ketajaman mata hati, serta kepekaan perasaan, agar kita dapat memandang pancaran cahaya Allah, dapat merasakan segala nikmat dari Allah, sehingga kita dapat menjadi hamba yang pandai bersyukur. Jagalah fitrah kemuliaan kita agar kita dapat selamat dalam menjalani kehidupan di dunia ini, juga selamat dalam menghadapi hari penghisaban kelak.

Yaa Allah, Yaa Malikul Quddus, ampunilah segala dosaku, berilah aku kebersihan qolbu, kembalikanlah dan tetapkanlah aku dalam fitrah kemuliaan atas keridhoanmu; Amiin yaa Allah amiiin.

“ Dia telah menciptakan langit dan bumi dengan hikmat kebijaksanaan. Dia telah membentuk rupamu, lalu rupamu itu dibuat-Nya seindah-indahnya. Selanjutnya dalam kehidupan di Akhirat, kepada-Nya lah tempat kembali” (QS. At Taghabun: 3).

Wallahu A’lam bial-shawab.

jokosuharto@rocketmail.com
hambarabbani,blogspot.com