Kamis, 27 Agustus 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

PRIBADI IHSAN



"PRIBADI IHSAN"
Oleh: Joko Suharto, hambarabbani.blogspot.com


“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu”. (QS. Al Kahfi: 30).

Dalam hal pengertian Ihsan, terdapat suatu keterangan yang cukup populer di kalangan muslim, yaitu sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Hadits berikut ini; Umar bin Khaththab menceritakan, bahwa pada suatu hari ketika beberapa sahabat sedang berada di sisi Rasulullah Saw., sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan dan tidak seorangpun di antara mereka yang mengenalnya, Dia langsung duduk ke dekat Nabi Saw., lalu disandarkannya lututnya ke lutut Nabi, dan diletakkannya kedua telapak tangannya ke pahanya. Dia berujar, “Ya, Muhammad!, terangkan kepadaku tentang Islam!” .. Jawab Nabi Saw., “Islam ialah; (1) Mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad Rasulullah; (2) Mendirikan shalat; (3) Membayar zakat; (4) Puasa Ramadhan; dan, (5) Haji ke baitullah bila sanggup melaksanakannya”. “Engkau benar!”, kata orang itu. Kemudian orang itu kerkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Iman!”.. Jawab Nabi Saw., “Iman ialah; (1) Iman kepada Allah; (2) Iman kepada para malaikat-Nya; (3) Iman kepada kitab-kitab-Nya; (4) Iman kepada para Rasul-Nya; (5) Iman kepada hari berbangkit; (6) Iman kepada Qadar baik maupun buruk”. Orang itu berkata, “Engkau benar!’. Kemudian dia berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan!”. .. Jawab Nabi Saw., “Ihsan ialah ; menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya , sesungguhnya Dia melihatmu”. … (HR. Muslim).

Dari riwayat tersebut di atas dapatlah kita pahami tentang makna dari Islam, Iman, maupun Ihsan. Selain itu kitapun memperoleh suatu pengertian bahwa seseorang hamba Allah yang taqwa adalah mereka yang telah memiliki ketiga derajad tersebut, yaitu; ia telah Islam, Iman, dan juga telah Ihsan. Jadi seseorang yang telah Islam atau telah masuk ke dalam golongan Muslim, belum tentu ia telah mencapai derajad Iman atau Mu’min. Dan meski seseorang sudah termasuk dalam golongan mu’min belum tentu pula ia telah menjadi seorang hamba Allah yang Ihsan. Bisa saja seseorang telah mengucap dua kalimat sahadat namun belum tentu ucapannya itu telah sesuai dengan jiwa dan kata hati nuraninya, dan bisa saja orang mengerjakan ibadah shalat ataupun puasa tetapi ibadahnya itu tidak ia lakukan dengan keikhlasan. Ada orang yang masuk dalam Islam karena keyakinannya yang memang telah tumbuh dalam hatinya, namun ada pula orang yang masuk Islam hanya karena keturunan atau ikut-ikutan saja.

Tentang adanya orang-orang muslim yang belum termasuk ke dalam golongan mu’min memang sudah diisyaratkan sejak awal, yaitu sebagaimana telah di peringatkan di dalam Al Qur’an, “Orang-orang Arab pedalaman itu berkata, ‘kami telah beriman!’. Katakanlah kepada mereka, ‘Kamu belum beriman!’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah Islam!’, sebab iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan kalau kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat: 14). Lalu, bagaimanakah ciri-ciri dari seorang mu’min?. Berikut ini adalah beberapa ciri seorang Mu’min yang diterangkan di dalam Hadits, yaitu sebagai berikut: “Barang siapa menyenangi amalan kebaikan dan merasa sedih terhadap keburukan, maka ia adalah seorang Mu’min”. (HR. AL Hakim). Dan, “Seorang Mu’min bukanlah pengumpat dan yang suka mengutuk, yang keji dan yang ucapannya kotor”. (HR. Bukhari). Jadi bila ada seorang yang mengaku Muslim tetapi ternyata kelakuannya masih buruk sebagaimana yang digambarkan di atas berarti ia masih belum tergolong sebagai seorang mu’min. Seorang Muslim yang mu’min itu adalah hamba Allah yang menyenangi amalan kebaikan dan yang selalu berupaya menjauhi sikap-sikap keburukan. Lalu, bagaimana dengan keimanan kita dan keimanan diri anda sendiri?. Apakah kira-kira kita ini sudah tergolong sebagai orang yang Mu’min?.

Mengenai pengertian Ihsan, sebagaimana Hadits tersebut di atas Rasulullah Saw. telah memberikan suatu keterangan yang cukup ringkas tetapi terkandung makna yang luas dan mendalam. “Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Cobalah anda perhatikan betapa seseorang pegawai Perusahaan akan menunjukkan sikap kerja yang baik, tekun dan serius, saat ia sedang diperhatikan oleh Sang Pemilik perusahaan; Atau seorang siswa akan serius berpikir dan belajar saat ia sedang dihadapi oleh guru yang dihormatinya!. Nah,dengan sedikit ilustrasi seperti itu maka dapat kita bayangkan bagaimana sikap seorang mu’min yang taat bila ia merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah, Tuhannya yang ia cintai dan yang ia takuti azab-Nya?. Tentunya ia akan selalu bersikap hati-hati, berusaha selalu berperilaku sebaik-baiknya, dan dia akan selalu berusaha menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah.

Jadi, orang-orang yang Ihsan adalah mereka yang telah memiliki jiwa yang taqwa, yaitu hamba-hamba Allah yang hidupnya sepenuhnya dijalani untuk mengabdi kepada Tuhannya. Sikap hidupnya selalu berhati-hati, segala perilaku atau segala amal-ibadahnya termasuk bagaimana cara bekerjanya akan selalu diupayakan untuk memperoleh kesempurnaan. Segala perilakunya akan selalu didasari oleh sifat kasih sayang, dan akan selalu berusaha menjauhi sikap-sikap yang mengandung aniaya kepada sesamanya. Seseorang yang bersikap Ihsan berarti ia berakhlak Islam, suatu sikap yang tidak meremehkan dalam melaksanakan amal-ibadah, tidak terkandung sifat kemalasan, yang ada justru sifat-sifat kesungguhan, ketekunan, dan kesempurnaan. “Sesungguhnya Allah bersama orang yang taqwa dan berbuat kebaikan”. (QS. An Nahl: 128).

“Ihsan” dalam beribadah, artinya dalam melaksanakan ibadah selalu dilakukan dengan kesungguhan, ketekunan, atau dengan khusuk. Tidak dilakukan secara sembarangan, tidak asal terlaksana saja, serta tidak enggan dan tidak lalai, tetapi selalu dijalankan secara serius guna mencapai nilai kesempurnaan dalam beribadah. Ia laksanakan ibadahnya secara tekun melebihi ketekunan siswa yang sedang dihadapi oleh gurunya. Dan memang, ibadah yang sebenarnya adalah yang dilakukan dengan kesungguhan, ikhlas dan tidak lalai. “Celakalah! Mereka yang shalat, yang lalai dalam shalatnya. Berpura-pura agar dilihat orang saja. Yang enggan memberi bantuan”. (QS. Al Maa’uun: 4-7). Dan, ada pula peringatan lainnya, “Barang siapa (saat puasa) tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya”. (HR. Bukhari).

Bersikap “Ihsan” dalam pergaulan, artinya seseorang mu’min yang Ihsan akan selalu berusaha menjalani pergaulannya secara baik, dengan memperlihatkan sikap yang tawadhu atau rendah hati, yang didasari oleh kesadarannya atas segala kelemahan dirinya di hadapan Tuhannya. “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaknya mereka mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh syaitan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. … (QS. Al Isra’:53). Dalam bergaul seorang yang Ihsan akan selalu bersikap santun, tutur-katanya lembut menjauhi dari ucapan kasar yang menyakitkan hati, bersikap peduli dan tidak egois. Dengan sikap Ihsan ia telah membangun keakraban dan persaudaraan dalam pergaulannya. “. … Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang yang beriman”. (QS. Al Anfal: 1). Seorang yang Ihsan akan terlebih dahulu mengucap salam saat bertemu, dan tak lupa berpamit bila hendak meninggalkannya. Saudaraku, apakah anda telah santun dan tawadhu dalam pergaulan anda?. Tidak saja santun dan tawadhu terhadap orang tua atau guru, tetapi juga santun dan tawadhu terhadap saudara, teman, dan juga terhadap murid ataupun pembantu kita. Ya!, kepada “pembantu” hendaknya kitapun santun dan tawadhu.

Bersikap Ihsan khususnya terhadap orangtua, guru dan keluarga. Dalam hal ini marilah kita tengok sikap kita selama ini, apakah anda sudah terbiasa untuk berpamit dan mencium tangan orangtua anda ketika anda hendak pergi meninggalkan rumah?. Bila belum, cobalah segera lakukan dan biasakan untuk bersikap santun dan tawadhu!, jauhkanlah sikap keangkuhan yang mungkin masih ada!. Seorang yang Ihsan akan selalu menunjukkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Iapun akan selalu hormat kepada gurunya dan menunjukkan sayangnya kepada keluarganya. “. … dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. … , maka jangan sekali-kali engkau mengucap ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkan kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang … “. (QS. Al Isra’: 23-24).

Ihsan dalam bekerja. Artinya kita bekerja secara sungguh-sungguh, taat pada aturannya, serta berpegang pada prinsip-prinsipnya. Seseorang yang dalam bekerjanya masih sering malas atau kurang berdisiplin berarti orang itu masih belum Ihsan. Seorang yang Ihsan akan bekerja dengan tekun, ia berupaya untuk selalu dapat mencapai hasil kerja yang sebaik-baiknya. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan atau sembarangan saja. Bila ia seorang pimpinan ataupun guru maka ia akan tunjukkan keteladanannya, ia niatkan untuk dapat memimpin dan atau mendidik secara maksimal agar hasil kerjanya juga dapat maksimal. Sebagaimana nasehat dari orang bijak bahwa, “Pada pekerjaan sekecil apapun tetaplah dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin”. Bila menyapu usahakan sebersih mungkin, bila menata lakukan serapih mungkin, dan bila menghias hasilkan seindah mungkin. Lalu, bagaimanakah pendapat anda sendiri terhadap pejabat, pegawai ataupun guru yang bekerjanya malas dan tidak serius?, mereka menerima upah namun mereka kurang menjaga amanah!, apakah mereka itu tergolong orang yang Ihsan?. Pastilah hati anda tidak akan menyukai terhadap sikap orang-orang seperti itu!, apalagi terhadap mereka yang hanya mementingkan diri sendiri, yang kelakuannya justru sering merugikan masyarakat. Oleh karena itu marilah kita hindarilah sikap-sikap bekerja yang buruk, dan kita gapai sikap bekerja yang Ihsan. “Sesungguhnya di samping kesulitan ada kemudahan. Karena itu, bila engkau telah selesai dari satu pekerjaan, kerjakan pula pekerjaan berikutnya dengan tekun”. (QS. Al Insyirah: 6-7).

Ihsan dalam memperlakukan binatang. Dalam hal ini perlu kita sadari bahwa binatangpun hendaknya kita perlakukan secara baik. Anda tentu ingat pesan Nabi Muhammad Saw. tentang perlunya kita menggunakan pisau yang tajam bila hendak menyembelih binatang Qurban. Berarti kita telah diingatkan agar kita selalu berusaha untuk tidak menyakiti binatang, sampai saat menyembelihpun kita harus berusaha untuk meminimalkan rasa sakit yang akan diderita oleh binatang tersebut. Selain itu Rasulullah-pun melarang kita menjadikan binatang sebagai sasaran dalam latihan memanah atau semacamnya. (HR.Bukhari-Muslim). Dalam kata lain kita hendaknya menghindari perlakuan-perlakuan yang sifatnya aniaya terhadap binatang. Itulah salah satu bentuk sikap yang Ihsan.

Saudaraku, mari kita ulang kembali pernyataan di atas bahwa sikap Ihsan adalah bentuk dari akhlak seorang muslim, yaitu bila melakukan segala sesuatu ia kerjakan dengan tekun dan dengan cara yang sebaik-baiknya. Karena itu bila kita telah menyatakan diri sebagai seorang muslim maka hendaknya sikap Ihsan itu telah terbentuk dalam pribadi kita. Mari saudaraku, jadikanlah diri kita sebagai manusia yang “Ihsan”, manusia yang dapat memberikan arti serta manfaat bagi orang banyak. Semoga Allah meridhoi.

Yaa Rasyiidu, yaa Mujiibu, teguhkanlah iman kami dan jadikanlah kami sebagai hamba Allah yang “Ihsan”, amiin yaa Allah.


”Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An Nahl: 97).

Wallahu A’lam bial-shawab.
jokosuharto@rocketmail.com, hambarabbani.blogspot.com

MAKNA BEKERJA

"MAKNA BEKERJA"

Oleh: Joko Suharto

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-NAhl: 97).


Manusia di dalam hidupnya akan melakukan aktifitas-aktifitas yang berupa amal-amal perbuatan, apakah itu berupa amal-amal yang baik ataupun amal-amal yang buruk. Amal-amal perbuatan manusia itu dapat berupa aktifitas bekerja ataupun bentuk perbuatan lainnya. Aktifitas bekerja tidak saja dilakukan oleh manusia, tetapi juga dilakukan oleh seluruh jenis mahluk hidup lain yang ada di alam ini. Aktifitas bekerja sangat penting artinya guna memenuhi tuntutan kebutuhan hidup, dan bentuk kegiatan itu tidak hanya berupa kegiatan yang sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum saja, tetapi masih banyak lagi bentuk kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan lain yang berkait dengan tuntutan kebutuhan jasmani maupun rohani, baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk orang lain.

Mengenai kandungan makna bekerja bagi setiap orang bisa berbeda-beda tergantung dari cara pandang mereka masing-masing. Cara pandang seorang yang relegius akan berbeda dengan cara pandang seorang yang berjiwa sekuler, begitu pula cara pandang seorang pekerja aktif akan berbeda pula dengan cara pandang seorang yang pemalas. Bagi kita dalam memaknai bekerja ini hendaknya lebih berpegang pada dasar keimanan terhadap Kebesaran Allah, serta mengingat bahwa manusia hidup berfungsi sebagai khalifah di bumi yang berkewajiban untuk selalu beribadah kepada Tuhannya.

Perhatikanlah kawanan burung yang sedang terbang, pergi pagi pulang petang, dan juga induk ayam yang mengorek-ngorek tanah dengan cakar dan paruhnya, serta perhatikan pula gerak-gerik lebah yang hinggap berpindah-pindah dari bunga yang satu ke bunga yang lainnya, mereka itu semua sedang menjalani aktifitas kehidupan dengan bekerja, ya bekerja dengan cara mereka masing-masing. Lebih lanjut cobalah pula untuk memperhatikan dengan seksama wajah dan gerak-gerik binatang-binatang itu semua, tak kan nampak kelesuan, dan tak nampak pula tanda-tanda keengganan, mereka semua melakukan pekerjaan dengan lapang dada, dengan keikhlasan, tak nampak sikap penyesalan apalagi sikap pembangkangan. Mereka semua telah bertasbih meng-Agungkan Sang Pencipta, dan merekapun bekerja sebagai wujud ibadahnya kepada Sang Pemilik Jagat-Raya.

Bila kita memperhatikan ke sekeliling kita dimana akan banyak kita temui orang-orang yang sedang bekerja. Dan, Sikap bekerja dari orang-orang itu pun bisa bermacam-macam; ada yang bekerja secara tekun dan serius, untuk memperoleh hasil kerja yang sempurna; ada yang bekerja dengan santai, tak peduli terhadap hasil kerjanya; dan ada yang bekerja asal-asalan, tak bertanggung jawab; serta ada pula orang yang malas enggan bekerja tetapi inginnya memperoleh gaji ”buta”. Ada yang bekerja dengan sikap keikhlasan, namun banyak pula yang nampak bekerja dengan sikap keterpaksaan. Lalu, bagaimana dengan kita dalam menyikapi kehidupan ini?, dan bagaimana pula dalam menyikapi kewajiban untuk bekerja?.

Dengan didasari oleh nilai-nilai keagamaan maka kita akan dapat memperoleh beberapa pengertian tentang makna bekerja, yaitu antara lain sebagai berikut:

· Bekerja adalah sebagai ”Rahmat”, karena tanpa adanya Rahmat dari Allah mana mungkin kita memiliki daya untuk bekerja;
· Bekerja adalah ”Amanah”, karena hidup ini tidak hanya untuk sekedar hidup, tetapi menjalani kehidupan ini untuk melakukan segala kewajiban sesuai Perintah Allah;
· Bekerja adalah ”Ibadah”, karena kita hidup dan bekerja pada dasarnya adalah untuk mengabdi kepada Allah dan atau melakukan segala sesuatu untuk tujuan kemaslahatan bersama;
· Bekerja adalah ”amal dan Pelayanan”, karena kita bekerja bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata tetapi justru sebaiknya lebih condong pada upaya untuk memenuhi kebutuhan orang lain;

Selain makna bekerja sebagaimana tersebut di atas, orang juga memaknai bekerja itu sebagai ”Aktualisasi diri”, sebagai ”Kehormatan dan Kepercayaan”, sebagai suatu ”Panggilan”, dan juga ada yang mengatakan bekerja sebagai suatu ”Seni”, serta beberapa pandangan lainnya.

Saudaraku, cobalah kita perhatikan keadaan diri kita, bahwa kita telah memiliki berbagai kemampuan, kita dapat melihat, dapat mendengar, dapat berpikir, dapat bergerak, dan dapat pula melakukan aktifitas-aktifitas lain. Kita telah memiliki kemampuan yang paling sempurna dibanding kemampuan mahluk-makhluk lainnya. Dan, Perlu kita sadari bahwa segala kemampuan kita itu pada hakikatnya bukanlah semata hasil karya kita sendiri, tetapi itu semua adalah anugerah dari Allah; Itulah Rahmat dari Allah!, atas Kasih-Sayang Allah bagi semua mahluk ciptaan-Nya. ”Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu, sedang kamu tidak tahu apa-apa. Lalu diberi-Nya kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An Nahl: 78). Dengan Rahmat Allah itu maka kita akan dapat bekerja, melakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Sekali lagi mari kita sadari dan syukuri, bahwa karena Rahmat Allah itulah kita sekarang hidup dan mampu beraktifitas, mampu melakukan segala sesuatu yang bermakna, menghasilkan karya-karya yang jauh lebih hebat dari hasil kerja mahluk hidup lainnya. Dengan rajin bekerja kita akan bertambah kuat, sehat dan bertambah ahli, serta akan kita peroleh pula keberuntungan-keberuntungan lainnya. ”Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, maka akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Al ’Ankabut: 69).

Saudaraku, kita hidup di dunia ini telah menerima tugas sebagai Khalifah atau ”Penguasa” di bumi, sebagai mahluk yang berkewajiban memimpin, mengatur, dan memelihara alam beserta semua kehidupan yang ada di dalamnya. ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang sebagai khalifah di muka bumi’....”.(QS. Al-Baqarah: 30). Kita telah menerima amanah untuk hidup dan berbuat selaku pemimpin yang bertanggung jawab, yang diminta untuk peduli terhadap kondisi lingkungan dan kepentingan orang lain, untuk bekerja dan bekerja membangun kehidupan menuju kesejahteraan bersama. Sebagai khalifah di muka bumi ini, maka sungguh salah dan merugilah bila seseorang enggan bekerja dan atau tak mau melakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab.

Kita tentu akan selalu ingat bahwa hidup kita ini pada dasarnya untuk beribadah kepada Sang Maha Pencipta. ”Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat: 56). Jadi beribadah atau mengabdi kepada Allah adalah suatu kewajiban kita semua, dan salah satu sikap pengabdian kita adalah dengan melakukan aktifitas bekerja atau berikhtiar menghasilkan segala sesuatu yang bernilai kebaikan dan kemanfaatan. Bekerja yang bernilai pengabdian atau ibadah adalah yang dilakukan secara serius dan ikhlas, demi Allah, demi kebaikan, dan demi kebenaran; Yang berarti bilamana seseorang bekerja dengan malas, tidak disiplin atau tidak bertanggung jawab, serta tidak bersifat kebajikan, maka orang tersebut tidak melakukan ibadah kepada Allah, tetapi ia sedang mengabdi kepada dorongan hawa nafsunya saja, sehingga akan merugilah ia. ”Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, sementara Allah membiarkannya sesat .... ?”. (QS. Al-Jasiyah: 23). Karena itu saudaraku, bekerjalah dan lakukan pekerjaan itu dengan serius, tulus-ikhlas, sesuai azasnya, dan yang dilakukan dengan penuh rasa pengabdian kepada Allah Swt. Marilah kita perhatikan sabda Rosulullah Saw.: ”Kebaikan dan kenikmatan adalah bagi orang yang menyembah Tuhannya dengan sebaik-baik kepatuhan, dan melayani Tuhannya dengan tulus ikhlas”. (HR. Imam Bukhari).

Saudaraku, kita hidup tidaklah semata untuk diri kita sendiri, tetapi kita hidup dan bekerja pada hakikatnya untuk kepentingan bersama dan atau demi orang lain. Bila semakin bermanfaat keberadaan diri kita ini bagi orang lain, maka akan bertambah baiklah nilai kehidupan kita sebagai hamba Allah. Karena itu selayaknya bila kita hidup untuk selalu berusaha melakukan amal-amal shaleh, memberikan keuntungan bagi orang lain, bekerja untuk membantu, memberi dan atau melayani orang lain. Mari kita sadari bahwa memberikan layanan yang baik kepada orang lain adalah merupakan salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan kita terhadap kehendak Allah. Dan, untuk dapat melayani dengan baik tentu dibutuhkan sikap yang tawadhu, tidak angkuh, serta didasari oleh adanya rasa kasih sayang kepada sesama. Selain itu agar kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan bekerja secara baik dan bersungguh-sungguh maka perlu pula kita yakini bahwa kebahagiaan yang sebenarnya justru berada pada sikap memberi layanan, dan bukan pada saat menerima pemberian. ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta merendahkan diri kepada Tuhannya, mereka itu penghuni surga, dan kekal di dalamnya”. (QS. Hud: 23).

Dalam menjalani kehidupan ini hendaknya kita menjalaninya dengan bergairah, dan melakukan pekerjaan dengan bergairah pula, tidak terjerat dalam kondisi sikap yang bermalas-malas agar tak merugi dalam menempuh kehidupan kita ini. Orang yang malas dan kurang memiliki rasa tanggung jawab adalah orang yang kurang menghargai waktu serta melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat memaknai kehidupannya melalui perbuatan atau amal-amal kebajikan. Orang yang seperti ini telah lupa terhadap kesempatan hidupnya yang tak kan berlangsung lama dan ia pun lupa bahwa kesempatannya untuk dapat berbuat kebajikan juga tak kan selamanya ia peroleh, ia akan mengalami kerugian yang sangat besar bila sekiranya amal kebajikan belum sempat ia lakukan ternyata ia telah mati dijemput ajal.

Mari saudaraku kita bekerja dengan sebaik mungkin, dengan kesungguhan, dengan ketekunan, serta dengan keikhlasan, mengikuti azas dan prinsip-prinsipnya, atau dalam kata lain kita bekerja dengan sikap yang Ihsan. Hindarilah cara bekerja yang asal-asalan, karena cara bekerja yang asal-asalan bukanlah suatu perbuatan pengabdian kepada Allah, tetapi itu justru suatu perbuatan yang terbawa oleh dorongan nafsu syaitan, sadarilah itu!. Bila mana dalam kita bekerja tidak kita lakukan secara benar, lalu kapankah kita akan beribadah kepada Allah?. Hari ini kita masih hidup dan masih berkesempatan, entah hari esok kita tidak tahu!. Semoga kita dapat menjadi hamba Allah yang sebaik-baiknya. Insya Allah.


”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan akan memberinya petunjuk karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, dimana mengalir sungai-sungai di bawahnya”. (QS. Yunus: 9).



Wallahu A’lam bial-shawab.
jokosuharto@rocketmaail.com, hambarabbani,blogspot.com

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN

MENEGAKKAN PRINSIP-PRINSIP MENDIDIK
DALAM UPAYA
MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh: Joko Suharto

Berbicara tentang peningkatan mutu pendidikan, maka perlu kita akui bahwa mutu pendidikan di negara kita saat ini relatif masih tertinggal dari kemajuan pendidikan pada negara-negara tetangga. Dalam menilai terhadap mutu pendidikan, setiap orang akan melihat dari sudut pandangnya masing-masing, ada yang memandang dari sudut perolehan nilai hasil Ujian Nasional, ada yang melihat dari sudut tingkat keberhasilan lulusannya dalam menghadapi seleksi masuk perguruan tinggi atau masuk ke dunia kerja, dan, ada pula yang menilai dari sudut hasil perubahan sikap para siswa, atau dari sudut-sudut pandang lainnya.

Dalam hal upaya kita untuk meningkatkan mutu pendidikan baik bagi pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, maka kami ingin mengajak untuk kembali menengok kepada pengertian dan makna mendidik itu sendiri. Bahwa; ”Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mengajak peserta didik menuju kedewasaan susila”, atau dalam kata lain; ”Pendidikan merupakan suatu kegiatan pewarisan nilai-nilai budaya”. Mendidik berarti membangun karakter, dan juga mendidik merupakan upaya untuk membangun kecerdasan dan kompetensi, yang berarti pendidikan akan mewarnai bentuk budaya masyarakat.

Karena fungsi pendidikan sifatnya begitu penting dan mulia, maka dalam penyelenggaraannya perlu diterapkan prinsip-prinsip mendidik secara benar, sehimgga kita akan dapat mencapai tujuan dari kegiatan pendidikan sebagaimana yang kita harapkan. Janganlah sampai kita menyelenggarakan suatu sekolah tetapi dalam pelaksanaannya telah mengabaikan prinsip-prinsip mendidik yang seharusnya ditegakkan. Bilamana kita telah menyimpang dari prinsipnya, berarti kita telah keluar dari fungsi mendidik itu sendiri.

Tentang program pembangunan bidang pendidikan yang kita laksanakan saat ini, di samping berusaha untuk memenuhi SDM yang berkualitas serta menyiapkan fasilitas belajar yang memadai, maka upaya menuju penegakan prinsip mendidik juga merupakan suatu unsur pokok yang harus dapat diwujudkan secara baik. Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan pembangunan pendidikan antara lain harus diarahkan untuk selalu memperhatikan dan menyentuh faktor tegaknya prinsip-prinsip mendidik tersebut, agar semua lembaga sekolah akan dapat selalu menampilkan diri sebagai ”Wawasan Wiyatamandala”, yaitu sebagai pusat pendidikan bagi lingkungan masyarakat sekitarnya.
Prinsip-prinsip mendidik yang harus selalu dapat kita tegakkan di dalam dunia pendidikan kita adalah:
1. Pendidikan harus dilaksanakan dengan Taat Azas;
2. Pendidikan dilaksanakan melalui Keteladanan/Panutan;
3. Pendidikan harus diselenggarakan secara Sadar-Serius;
4. Pendidikan dilaksanakan secara Jujur-Obyektif;
5. Pendidikan dilaksanakan dengan didasari Kasih-Sayang.

Prinsip ”Taat Azas”, berarti penyelenggaraan pendidikan harus kita laksanakan secara benar, yaitu mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan dan atau yang disepakati, jangan sampai ada sekolah atau guru yang justru sering melanggar aturan. Ketaatan itu antara lain dalam hal pendirian sekolah harus dilakukan sesuai ketentuannya, program kurikulum diterapkan secara konsekwen, ketentuan tentang standar penyelenggaraan sekolah dipatuhi, dan lain sebagainya. Mengapa harus seperti itu?, tentu karena sekolah dan guru adalah unsur penyelenggara pendidikan yang mengajari peserta didik dan masyarakat untuk mematuhi aturan. Apa jadinya bila yang mengajari sendiri sudah tidak patuh terhadap aturan?.

Prinsip ”Keteladanan/Panutan”, yang artinya pendidikan akan dapat berjalan secara efektif mencapai tujuannya bila para penyelenggaranya atau para gurunya memberikan keteladan atau pantas menjadi panutan. Kita tentu menyadari benar bahwa proses pendidikan akan berjalan baik bila dilakukan melalui keteladanan tersebut, tanpa itu rasanya tak mungkin tujuan pendidikan akan dapat kita capai. Jadi pihak sekolah, para penyelenggara, para pembina, para orangtua, dan warga masyarakat yang peduli, hendaknya dapat selalu menunjukkan keteladanannya dalam menegakkan nilai-nilai kehidupan, dengan menghindari pemberian contoh kelakuan yang bersifat tidak mendidik. Bila kita ingin mengharapkan peserta didik dapat menjadi manusia yang bersemangat maka gurunya dulu yang harus semangat. Dan, bila peserta didiknya diharap memiliki disiplin tinggi maka gurunya dulu yang harus berdisiplin. Bukankah kita hendak mewariskan nilai-nilai kehidupan?

Prinsip ”Sadar dan Serius”, artinya penyelenggaraan pendidikan jangan sampai dilakukan secara asal-asalan, karena kesalahan dalam mendidik akan berdampak luas dan panjang terhadap ”buruknya” karakter peserta didik dan budaya masyarakat. Pendidikan harus kita lakukan secara kesadaran penuh serta dengan serius, jangan sampai terjadi kesalahan-kesalahan dalam mendidik. Bila kita mengharapkan kehidupan masyarakat yang maju sejahtera maka wajib bagi kita untuk memberi perhatian penuh kepada penyelenggaraan pendidikan ini. Bila rendah mutu sekolahnya maka akan rendah pula mutu masyarakatnya.

Prinsip ”Jujur dan Obyektif”, artinya pendidikan harus kita laksanakan dengan kejujuran dan penilaianpun harus dilakukan dengan obyektif. Dalam kata lain pendidikan memerlukan pernyataan ”Yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah”. Bila kita melaksanakan pendidikan dengan tidak jujur dan atau tidak obyektif maka berarti kita telah melakukan pembohongan kepada masyarakat, dan dampak negatifpun akan muncul dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan masyarakat selanjutnya. Perlu disadari bahwa ketidak jujuran penyelenggara pendidikan dan proses penilaian yang tidak obyektif akan menurunkan minat dan semangat belajar para peserta didik, yang akhirnya akan menurunkan mutu hasil pendidikannya. Karena itu maka pihak sekolah, para guru, dan seluruh pihak yang terlibat di dalamnya dituntut untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan dengan didasari oleh kejujuran serta melaksanakan penilaian secara obyektif.

Prinsip ”Kasih-Sayang”, artinya mendidik haruslah didasari dengan adanya kasih sayang dari sang guru terhadap para peserta didiknya. Tidaklah mungkin terjadi proses pendidikan yang efektif bila tanpa adanya kasih sayang, karena di dalam proses pendidikan berlangsung adanya saling interaksi antara guru dan murid, yang prosesnya akan dapat berlangsung baik dan lancar bila dalam interaksi tersebut telah terjalin adanya ”ikatan emosinal” antara kedua pihak. Peserta didik akan sulit menangkap informasi yang disampaikan guru bila sang murid tak suka pada gurunya, begitupun sebaliknya, sang guru akan malas mengajar bila ia tak suka pada muridnya.

Berbagai pengalaman telah banyak kita miliki, dan contoh-contoh telah banyak kita lihat, namun ternyata betapa pendidikan di negara kita ini nampak masih sulit untuk maju mengejar kemajuan negara lain. Mengapa?. Faktor utamanya adalah karena kita kurang memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya kita tegakkan. Masih banyak pihak penyelenggara/pelaksana pendidikan yang tidak taat azas, yang tidak memberikan keteladanan, yang tidak serius, yang tidak jujur, dan yang tidak obyektif. Inilah kendala-kendala utama yang harus kita perbaiki kembali, dan untuk itu perlu kepedulian kita bersama untuk saling membantu, membina pendidikan secara lebih sinergi.

Kita sadari bahwa penyelenggaraan pendidikan yang baik itu sangat membutuhkan keseriusan, tidak saja keseriusan dari pihak guru, tetapi juga keseriusan dari pihak Pemerintah dan masyarakat. Karena itu kita sangat mengharapkan adanya perhatian pihak Pemerintah yang serius, terselenggaranya kegiatan belajar-mengajar yang serius, pelaksanaan ujian yang jujur dan serius, juga adanya sistem penilaian yang dilaksanakan secara serius dan obyektif.

Semoga mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di hari esok akan lebih baik dari hari ini.

Jakarta, 9 Agustus 2007.

Joko Suharto.

Senin, 10 Agustus 2009

PINTU SYAITAN

PINTU SYAITAN
Oleh: Joko Suharto


“Dan demikian untuk setiap Nabi Kami jadikan musuh yang terdiri dari Syaitan-syaitan manusia dan jin, sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain kata-kata indah sebagai tipuan. Dan jika Tuhanmu menghendaki tentu mereka takkan bisa berbuat begitu, maka biarkanlah mereka bersama dengan segala kebohongannya”. (QS. Al-An’am: 112).


Syaitan, adalah sebuah nama dari segala perilaku keburukan, suatu kekuatan atau energi kejahatan yang akan menyeret manusia ke dalam kesesatan, yang selanjutnya akan dapat memasukkan manusia ke dalam kesengsaraan dan kepedihan yang berkepanjangan. Syaitan, adalah pembisik kejahatan, musuh nyata bagi manusia, yang hidup tidak saja diluar diri manusia tetapi juga ada dalam setiap diri manusia. Kehidupan kejahatannya dimulai sejak dari pembangkangan Iblis kepada Tuhannya, dan yang akan terus berkembang merajalela hingga akhir zaman. Iblis berkata: ”Inikah manusia yang Engkau muliakan lebih dari padaku?, jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat niscaya akan aku sesatkan anak keturunan mereka semuanya, kecuali sebagian kecil”. (QS.Al-Isra’: 62).

Allah telah berulangkali mengingatkan kepada manusia agar selalu waspada terhadap bujuk-rayu syaitan, karena syaitan tersebut merupakan musuh yang nyata bagi mereka. ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. Al-Baqarah: 208). Tingkat kewaspadaan manusia akan dapat lebih berarti bila manusia dapat mengenali keberadaan syaitan yang dimaksud dengan mengetahui ”wujud-wujud”-nya, sifat-sifatnya, akal bulusnya atau godaan-godaannya, dan juga mengetahui pintu-pintu masuk segala bisikan syaitan tersebut.

”Wujud” syaitan dapat berupa tingkah laku yang nampak indah menggoda namun menyesatkan, dapat pula berupa sikap laku yang buruk tapi ”menjanjikan”, atau berupa bisikan-isikan lembut yang mengasyikkan, dan dapat pula berupa angan-angan dalam pikiran, gejolak hasrat dalam dada, ataupun niat-niat buruk dalam hati, serta dalam bentuk wujud godaan lainnya. Jadi ”wujud” syaitan itu dapat nampak secara jelas terlihat oleh mata, yang menggoda dengan kata-kata, dengan gerak tubuh atau paras yang mempesona, dengan lezatnya makanan, dengan kemewahan harta benda, ataupun dengan ajakan untuk bermalas-malasan. Dan, Syaitan-pun akan dapat muncul secara tersembunyi di dalam diri kita yaitu di alam pikiran, naluri atau nafsu hasrat kita, dan di dalam hati atau perasaan kita.

Berbicara tentang energi jahat atau kekuatan syaitan tersebut maka kita perlu mengingat terhadap adanya kesalahan atau dosa-dosa besar yang telah diperbuat oleh mahluk-mahluk Allah di masa lalu yaitu di masa mula-mula kejadian nenek moyang manusia. Dosa-dosa yang diperbuat itu adalah; pertama, kesalahan Iblis yang telah membangkang terhadap perintah Allah untuk sujud kepada Adam a.s., hal mana merupakan sikap angkuh dan kesombongan dari Sang Iblis, yang di dalam alam pikirnya ia menganggap bahwa dirinya lebih mulia dari Adam karena ia diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah. ”... . Saya lebih mulia dari padanya; Engkau ciptakan saya dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.(QS. Al-A’raaf: 12). Kesalahan besar kedua dilakukan oleh Adam a.s., yaitu saat ia menuruti bujuk-rayu Syaitan untuk mendekati ”Syajaratulkhuldi” dan memetik buahnya yang dibisikkan sebagai buah ”Kekekalan” atau suatu syarat untuk memperoleh kenikmatan abadi. Saat itu Nabi Adam tidak mampu menahan nafsu nasratnya untuk memperoleh ”keabadian” tersebut. Meskipun Nabi Adam telah memperoleh kenikmatan yang istimewa dalam Surga, masih saja ia menginginkan tambahan kesenangan lain yang dibayangkan lebih besar dan bersifat abadi. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi adam telah terhanyutkan oleh sifat keserakahannya!, dan Nabi Adam telah melakukan dosa, sungguh betapa besar penyesalannya. ” ... . Ya Tuhan kami, Kami telah telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk sebagai orang yang merugi”.(QS. Al-A’raaf: 23). Kesalahan besar yang ketiga adalah kesalahan dari anak keturunan Nabi Adam di masa mereka mulai hidup di bumi, yaitu kesalahan besar yang telah diperbuat oleh anaknya yang bernama Qabil yang telah tega membunuh saudaranya Habil karena didorong oleh adanya penyakit hati iri dan dengki. ”Maka meluap hawa nafsu Qabil untuk membunuh saudaranya. Lalu dibunuhnya, maka jadilah ia orang yang merugi”.(QS. Al-Maidah: 30).

Banyak bentuk dosa manusia karena sikap dan perilaku hidupnya, namun bila kita renungkan tentang apa sebenarnya unsur utama pendorong perilaku dosa-dosa tersebut, maka akan kita ketahui bahwa terdapat tiga unsur kekuatan dalam diri manusia yang menjadi sumber atau pendorong perbuatan dosa tersebut. Dalam kata lain terdapat tiga pintu utama dalam diri manusia sebagai pintu masuknya syaitan dalam menggoda kita untuk melakukan dosa-dosa. Pintu masuknya syaitan-syaitan itu adalah:

Kesatu, Syaitan masuk dan atau berada di dalam diri manusia dengan melalui alam pikiran kita, yang akan menumbuhkan pikiran yang mengarah kepada sifat egoisme dan membanggakan diri, yang menganggap diri mulia atau lebih hebat, yang selanjutnya akan memunculkan sikap angkuh dan sombong, suka pamer, riya’, berangan-angan kosong, serta sikap-sikap lain semacamnya. ”Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”.(QS.An-Nissa’:120). Sikap bangga, merasa diri mulia, tinggi hati atau angkuh, dan sombong, seperti itulah yang telah ditunjukkan oleh Iblis saat ia membangkang dari perintah Allah untuk sujud kepada Adam. Sabda Rosulullah saw., ”Tidak dapat masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat rasa sombong walaupun hanya sekecil debu”.(HR. Muslim, 71). Dengan adanya energi keburukan yang dapat muncul di dalam alam pikiran kita itu maka hendaknya kita mampu untuk mengatasinya, dan cara-cara untuk dapat mengatasi kekuatan syaitan tersebut adalah dengan mengikuti ajaran-ajaran agama, yaitu dengan melakukan ritual-ritual ibadah yang antara lain dengan mengerjakan ibadah sholat secara tekun, dan atau dengan menyempurnakan sujud-nya, berusaha untuk selalu ber-”tawaf”, banyak berdzikir, shalat malam, dan juga banyak belajar dan atau mengaji. Adapun bentuk atau tanda telah tercapainya kemenangan kita dalam melawan kekuatan syaitan tersebut antara lain ditunjukkan oleh terbentuknya sikap-sikap mulia pada diri kita dalam menjalani kehidupan ini, yaitu sejauh mana kita telah dapat menjadi hamba Allah yang ”Tawadhu”, yang cerdas dan paham agama, serta semakin tebal keimanannya, dan juga memiliki cara berpikir yang menjauhi angan-angan kosong.

Kedua, Syaitan masuk dan atau berada dalam diri kita melalui aliran darah kita, yaitu berada dalam kekuatan nafsu hasrat kita, baik dalam nafsu hasrat perut, nafsu hasrat birahi, hasrat kenikmatan, kesenangan, keserakahan, kekuatan, dan dorongan emosi, serta segala nafsu lain yang didorong oleh tuntutan biologis. ”Sejahat-jahat musuhmu adalah nafsumu yang terletak di antara dua lambungmu”,(Riwayat Al Baihaqi). Bentuk sikap-sikap buruk yang ditimbulkannya antara lain dapat berupa sikap rakus/ serakah, gila harta, gila jabatan, gila kenikmatan dunia, mengedepankan emosi, selalu tergesa-gesa, suka terburu nafsu atau tidak sabar, dan bisa juga bersifat sebaliknya yaitu maunya senang sendiri dengan hidup bermalas-malasan. Tentu kita pernah menemui adanya orang yang sikapnya begitu mengagungkan terhadap citarasa makanan atau orang yang sangat suka makan, yang bila memperoleh kesempatan mendapatkan makanan ia tak cukup untuk mengambil ala kadarnya, ia merasa tak puas bila tak mengambil jumlah yang banyak, dorongan hawa nafsu lambungnya mengajak ia bersikap rakus. Diriwayatkan dalam hadits, dari Ibnu ’Umar r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: ”Orang-orang kafir makan dengan tujuh perut, dan orang mu’min makan dengan satu perut”. (HR. Muslim, 1969). Ada pula orang yang gila pada kesenangan dunia, saling merebut kursi jabatan tanpa mengindahkan etika dan aturan; mengejar harta benda, menghitung-hitung harta kekayaan dunia sampai ia lupa terhadap kematiannya. Tak sedikit pula kita temui orang yang cepat naik darah atau suka marah-marah, tak mampu mengendalikan emosi, sehingga mudah melakukan aniaya terhadap orang lain. Dan juga akan kita temui pula adanya orang-orang yang tanpa malu-malu mengumbar nafsu birahinya, seolah-olah pemenuhan nafsu birahi itu merupakan suatu kebahagiaan tertinggi baginya. Begitulah sebagian dari sikap buruk yang ditimbulkan oleh pengaruh bujuk-rayu syaitan. Lalu, bagaimanakah cara kita untuk dapat mengatasi segala kekuatan nafsu hasrat atau kekuatan syaitan yang berada dalam aliran darah kita itu?. Agama telah memberikan tuntunan kepada penganutnya untuk melakukan ibadah-ibadah baik berupa ibadah yang hukumnya wajib maupun sunnah, yaitu untuk berpuasa, ber-qurban, melaksanakan rukun ”jumroh” dalam ibadah haji, yaitu dengan melempar jumroh ke tiga sasaran yang disebut jumroh Aqabah, Wustha, dan Ula, serta tidak lalai dalam mendirikan shalat dengan meratakan punggung dalam rukuknya. Cobalah rasakan betapa kita akan semakin sabar bila kita rajin berpuasa, dan betapa kita akan semakin mampu mengendalikan emosi setelah kita melempar jumroh yang dilakukan secara ihsan, dan juga betapa akan semakin tenang hati kita bila kita kerjakan sholat dengan tuma’nina. Demikianlah saudaraku, bahwasanya manusia yang telah mampu menaklukkan kekuatan syaitan yang ada dalam nafsu hasratnya adalah seorang manusia yang telah memiliki sikap ”Sabar” dan ”Zuhud”, yaitu manusia berjiwa tenang yang tidak tergila-gila terhadap kesenangan duniawi.

Ketiga, Syaitan masuk dan berada dalam diri manusia melalui hati dan perasaan. Di dalam hati manusia ini Sang Syaitan akan menumbuhkan rasa iri dan dengki, licik serta tidak jujur, yaitu suatu penyakit yang mengotori hati. Dengan adanya penyakit iri-dengki, licik, serta tidak jujur dalam hati tersebut maka akan tumbuh sifat-sifat pendendam, jahat, curang, suka menyebar fitnah, dzalim, dan lain sebagainya. Bila penyakit hati itu menjadi semakin parah maka dapat dikatakan bahwa orang itu telah memiliki hati yang jahat, hati yang kotor, hati yang bengkok, atau mungkin sampai dikatakan sebagai orang yang tidak punya hati-nurani. Sungguh akan sangat merugi sekiranya seseorang telah mengotori hati sehingga hatinya itu menjadi terhijab dan keras membatu. Lalu, bagaimanakah cara kita untuk dapat menyelamatkan hati kita ini agar hati kita dapat menjadi hati yang lembut dan bening, hati yang mampu menerima cahaya kemuliaan yang di pancarkan oleh Allah?. Sebagaimana tuntunan dalam agama, untuk dapat mengatasi dan mengusir Syaitan dari dalam hati kita ini maka kita harus gigih untuk memeranginya, yaitu dengan memaksakan diri kita untuk dapat menjadi orang yang penyantun, yang mau dan yang suka memberi atau menolong orang lain. Yang berarti kita harus disiplin dalam membayar Zakat sesuai ketentuannya, dan kita juga harus sering bersadaqah, ber-infak, suka menolong orang, menjadi orang yang pemaaf, serta melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. ”Pungutlah shadaqah dari sebagian harta-harta mereka, yang akan membersihkan dan menyucikan jiwanya dari noda-noda kikir, serakah dan kejam terhadap fakir miskin. ... ”. (QS. At-Taubah: 103). Dalam hadits diriwayatkan bahwa Musa bin Anas mendapat cerita dari Bapaknya, katanya: ”Tidak pernah Rosulullah saw., bila diminta sesuatu atas nama Islam, melainkan selalu dipenuhinya. Pada suatu hari datang kepada beliau seorang laki-laki, lalu diberinya kambing banyak sekali sepenuh lembah antara dua bukit. ... ”.(HR.Muslim, 2141). Dan juga, kita hendaknya tidak lalai dalam sholat, dengan menyempurnakan gerak dan bacaannya, dan coba perhatikan dan pahami makna saat ”duduk” dalam sholat kita dimana kita harus banyak memohon ampun, memohon keselamatan, memohon keberuntungan, dan juga tidak lupa untuk mengucap salam keselamatan bagi orang-orang sekeliling kita. Dan juga, pahami makna ”sa’i” dalam haji dimana kita harus lari dari bukit ”kesucian” menuju ”kesuksesan”. Seseorang yang telah mampu melakukan ibadah-ibadah dan atau amal-amal shalih seperti itu yang dilakukannya secara ikhlas semata karena Allah, maka orang tersebut akan memiliki hati yang bersih, lembut, dan ”selamat”. Sungguh beruntung orang yang telah mampu membersihkan hatinya dari berbagai jenis penyakit hati, menjadi hamba Allah yang sejati, menjadi hambanya Sang Maha Pengasih dan Penyayang karena ia telah memiliki rasa kasih-sayang, menjadi hamba dari Sang Maha Suci karena ia telah memiliki jasmani dan hati yang bersih. Sungguh berbahagia !. Sabda Rosulullah Saw : ”Sesungguhnya Allah Tidak melihat kepada rupa dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada hati dan amalmu”.(HR.Muslim,2194)

Kita ulangi, bahwa terdapat tiga pintu masuk syaitan dalam diri kita, yaitu pertama, syaitan dapat masuk melalui alam pikiran kita; kedua, syaitan dapat masuk melalui naluri atau nafsu hasrat kita; dan ketiga, syaitan dapat masuk melalui hati dan perasaan kita. Karena itu, agar kita dapat terhindar dan selamat dari segala bujuk rayu syaitan tersebut maka kita harus selalu mewaspadainya, menutup pintu masuknya, memerangi dan atau melempari energi-energi syaitan yang akan mencelakakan kita itu. Bila kita lalai dalam hal ini maka sangat mungkin kita akan terjerumus menjadi hamba syaitan atau mungkin juga justru akan dapat menjadi syaitan-syaitan manusia yang menyebarkan keburukan dan kejahatan di muka bumi ini.

”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi karunia”.(QS.Ali Imran: 8).



”Jadilah engkau pema’af dan anjurkan orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang jahil/bodoh. Dan jika kamu dirasuk oleh godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al A’raaf: 199-200).



Wallahu A’lam bial-shawab.

AKHLAK MULIA

AKHLAK MULIA
Oleh: Joko Suharto






Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,…

Wassholatu wassalamu ala assrofil ambiya walmursalin Syaidina Muhammadin Nabiyil umiyi wa ala alihi wasshobihi ajmain. Wa lahaula wa laa quwwata illa billaahi,
Amma ba’du,

Bapak, ibu, dan saudaraku, para hadirin sekalian, kali ini perkenankan saya mengajak untuk membicarakan hal tentang membangun Akhlak mulia.

Bila berbicara tentang akhlak berarti kita berbicara tentang sifat dan kepribadian, tentang budi pekerti, tentang sikap hidup, cara pandang dan cara pikir manusia. Terdapat peringatan dari Allah SWT yang berkaitan dengan akhlak yang harus kita wujudkan pada diri kita antara digambarkan dalam ayat berikut,


“Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak yatim dan orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, orang dalam perjalanan, dan hamba sahayamu. Sesungguh nya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan besar omong”. (QS. An Nisaa’: 36)
Bila kita perhatikan keadaan akhlak manusia secara umum, ternyata masih banyak manusia yang akhlaknya masih kurang baik, hal tersebut dapat kita lihat dari keseharian kehidupan manusia di masyarakat, dengan masih banyaknya kejahatan, pelanggaran aturan, ataupun munculnya sifat-sifat egois dari sebagian warga masyarakat. Dengan adanya keburukan akhlak manusia tersebut tentunya akan dapat merusak keharmonisan, merusak ketentraman, dan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan kehidupan manusia. Tentang bagaimana kita dapat mengetahui baik atau buruknya akhlak seseorang antara lain dapat kita lihat dari sikap hidupnya, dari tutur katanya ataupun dari sifat-sifat kepribadian yang ia tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan tolok ukur yang dipakai untuk menentukan nilai kebaikan akhlak adalah berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama dengan contoh-contoh akhlak yang diperlihatkan oleh para Nabi dan para Rosul.

Allah Maha Rahman dan Rahim, dan Allah menurunkan Agama samawi bagi manusia, agama yang akan memberikan kedamaian bagi mereka yang beriman dan patuh kepada segala ajarannya. Cahaya kebenaran yang diturunkan Allah dalam bentuk kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rosul yang berisikan nasehat-nasehat, ajaran-ajaran, dan hukum kehidupan, adalah merupakan petunjuk jalan yang lurus dan benar. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul akan banyak kita temui petunjuk tentang bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menjalani kehidupan ini, bila semakin sesuai sikap kita dengan ajaran-Nya berarti semakin baik nilai akhlak kita. Ingatlah bahwa kita beragama bukan sekedar melaksanakan ritual-ritual ibadah saja tetapi yang penting adalah kita harus memahami benar makna dan tujuannya kita beragama, sehingga kita tidak lalai dan dapat selamat dalam menempuh hidup baik di dunia maupun di Akhirat kelak.

Salah satu ajaran yang harus dipatuhi adalah; kita harus menyembah hanya kepada Allah tak ada sekutu bagi-Nya, segala amal yang kita lakukan tak ada tujuan lain hanya karena Allah, dan kita harus berbuat baik selalu kepada kedua orang tua, kepada kerabat handai taulan, kepada anak yatim dan fakir miskin, kepada para tetangga dan hamba sahaya, serta kepada teman-teman dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pendek kata, kita harus berakhlak baik, yang selalu berbuat kebaikan, beribadah kepada Allah Swt selaku khalifah Allah di muka bumi.

Bapak, ibu, dan saudara-saudaraku, dalam kenyataannya tidak terlalu mudah untuk menjadi orang yang berakhlak mulia karena dalam diri setiap manusia terdapat dorongan naluriah, serta adanya bisikan-bisikan syaitan yang menggoda, yang akan memunculkan sifat egois, emosional, ataupun keinginan kuat terhadap kesenangan-kesenangan duniawi yang menggiurkan. Bila seseorang telah ”lupa diri” terbawa oleh nafsu syaitannya maka orang tersebut akan memperlihatkan sifat-sifat yang buruk, dan ternyata hal seperti itu telah menjangkiti banyak orang, atau mungkin juga terdapat pada diri kita sendiri. Sungguh sangat merugi, karena kepada orang-orang yang bersifat buruk telah diancam oleh Allah akan mendapat siksa yang pedih.

Bapak, ibu, dan Saudaraku, kita semua telah memperoleh peringatan, petunjuk dan tuntunan hidup melalui ajaran agama yang disampaikan oleh para Rosul Allah dimana telah diperingatkan bahwa kita harus mengabdi kepada Allah SWT, serta menjadi Khalifah di muka bumi, yaitu menjadi manusia yang menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

”Dan Kami tidak mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”.(QS.Al Anbiyaa’: 107).

Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad Saw serta menurunkan Agama Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta. Kita mengerti bahwa yang dikatakan ”Rahmat” itu merupakan segala sesuatu yang bersifat kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan. Sedangkan sifat kebaikan bersumber dari akhlak, jadi tanpa akhlak yang mulia mana mungkin akan diperoleh rahmat?.

Dengan adanya akhlak yang mulia itulah maka kita akan dapat meraih keselamatan dan kebahagian yang hakiki. Sehubungan dengan itu Rosulullah Saw pernah bersabda, ”Sesungguhnya aku diutus untuk meyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR.Malik).

Dan, terdapat pula sabda beliau, ”Orang yang terbaik dari kalian adalah yang paling baik akhlaknya”.(HR.Al Bukhari).

Jadi agar kita dapat memperoleh keselamatan dan kebahagian hidup, baik di dunia maupun di akhirat, maka kita dituntut untuk memiliki akhlak yang baik. Dengan dasar kemuliaan akhlak tersebut maka akan dihasilkan perilaku-perilaku ibadah dan atau amal-amal shalih yang bernilai mulia pula.

Allah maha pemberi Rahmat, dan Rahmat Tuhan yang terbesar bagi Nabi Muhammad Saw adalah berupa akhlak yang mulia dengan sifat lemah lembut dan keramah-tamahannya.

”Oleh karena rahmat dari Allah-lah maka engkau berlaku lunak-lembut terhadap mereka. ... ”.(QS.Ali Imran: 159).

Dengan keteladanan akhlak mulia, Rosulullah mendidik kita untuk menjadi manusia yang manusiawi, yaitu manusia yang Muslim, Mu’min, dan Mukhsin.

Bapak, ibu, dan saudara-saudaraku, bagaimanakah caranya agar kita dapat menjadi seorang ”Mukhsin”, atau pribadi yang berakhlak mulia?

Saudaraku, tentu anda telah menyadari bahwa semua rukun ibadah dalam Islam pada hakekatnya adalah untuk membangun akhlak mulia, baik ibadah sholat, puasa, zakat-shadaqah, maupun haji. Jadi, seseorang akan dapat memiliki akhlak mulia bila dia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut sebagaimana yang diajarkan dalam agama, dan, tentu saja akhlak mulia itu akan dapat terbangun bila kita melaksanakannya secara sempurna.

Di dalam sholat kita menyatakan kebesaran dan keagungan Allah, kita baca ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengingat diri, dan kita mengikrarkan bahwa hanya kepada Allah kita mengabdi dan memohon pertolongan, kita berdo’a memohon petunjuk jalan yang lurus dan benar, jalan yang Allah ridhoi, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai atau jalannya orang-orang yang sesat. Kita tunduk, kita sujud, serta meninggikan dan menyucikan Asma Allah, menyadari atas ”kefakiran” diri kita selaku hamba, kita memohon ampun, memohon rahmat, derajat, rezeki maupun keselamatan, dan kitapun menyampaikan salam serta do’a bagi Nabi Muhammad dan juga bagi makhluk sekeliling kita. Yang berarti kita telah berikrar untuk menjadi hamba Allah yang akan menyebarkan kebaikan dalam hidup bermasyarakat, menjadi manusia yang ber”akhlak”, yang tawadhu, yang tunduk dan taat. Jadi, bila ibadah sholat tersebut dapat kita lakukan secara benar, tertib, tidak lalai, yaitu dengan tuma’nina, ikhlas, khusuk, sejalan antara ucapan, gerak badan dan kata hati, apalagi sering dilakukan dengan berjamaah, maka yakinlah bahwa akan kita peroleh perubahan-perubahan positif pada pribadi kita. InsyaAllah.

”... Dan dirikan sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar... ”.(QS.Al-’Ankabuut: 45).

Dengan sholat, kita akan memperoleh peningkatan keimanan dan akhlak, dan dengan sholat, maka kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela seperti sikap keji dan munkar. Tetapi bagaimana halnya bila seseorang yang sehari-harinya telah rajin melakukan sholat ternyata sikapnya masih menunjukkan sifat-sifat tercela?, maka perlu dipertanyakan sejauh mana kesempurnaan pelaksanaan sholatnya!. Mungkin pernah anda temui seseorang yang baru saja selesai sholat di mesjid ternyata ia masih seenaknya saja melanggar aturan di jalan tanpa malu, atau sudah melaksanakan ibadah Haji tetapi masih melakukan perbuatan-perbuatan keji kepada orang lain!, lalu bagaimana hasil dari sholatnya?, dan bagaimana dengan hajinya?, niat apa sebenarnya yang mendasari pelaksanaan ibadah-ibadahnya itu?. Sekarang bagaimana dengan keadaan kita sendiri?, jangan sampai kita menjadi manusia yang merugi yang telah lalai dalam sholat, sebagaimana yang telah diperingatkan dalam Al-Qur’an dalam ayat berikut ini.



”Celakalah! Mereka yang mengerjakan sholat, yang lalai dalam mengerjakan sholatnya, dan mereka yang riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna”.(QS.Al Maa’uun: 4-7).

Bagaimana dengan ibadah puasa?. Di dalam ibadah puasa-pun terkandung nilai-nilai pembentukan akhlak mulia, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an,
yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana yang diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.(QS.Al Baqarah: 183).

Tentang taqwa, maknanya sangat luas, di dalamnya terkandung penghambaan, ketaatan, kesungguhan, keikhlasan, kedisiplinan, kejujuran, kesabaran, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Diajarkan bahwa dalam melaksanakan ibadah puasa kita dilarang melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti berkata yang tidak senonoh, memaki, atau berbohong, apalagi sampai berbuat keji kepada orang lain.

”Puasa adalah perisai diri, maka seseorang yang sedang berpuasa janganlah menggauli istrinya, berkata kotor, dan berbuat jahil, jika dia diajak bertengkar atau dicaci hendaklah dia katakan, ’saya sedang berpuasa’”.(HR.Al Bukhari).

Namun, apa iya, seseorang yang seharusnya sabar saat ia berpuasa dibolehkan untuk emosional di saat ia sedang tidak berpuasa?. Sungguh jelas bahwa di dalam ibadah puasa terkandung proses pendidikan untuk memperbaiki akhlak. Dengan berpuasa kita dilatih mengendalikan nafsu hasrat, dilatih sabar, dilatih jujur, dilatih untuk pandai bersyukur, serta dilatih untuk menjadi manusia yang tidak gila duniawi; atau, sebagaimana arti ayat di atas agar menjadi manusia yang bertaqwa. Memang sangat tinggi nilai ibadah puasa ini, karena puasa yang dilakukan oleh seorang hamba yang beriman adalah semata untuk Allah dan Allah-lah yang akan membalasnya.

”Semua amal ibadah anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa adalah utuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya”.(HR.Al Bukhari).

Mari saudaraku kita laksanakan ibadah puasa dengan sesempurna mungkin, jangan sampai puasa kita hanya memperoleh lapar dan haus saja.

Bagaimana dengan Zakat dan bershadaqah?. Melaksanakan ibadah berzakat maupun bershadaqah merupakan penerapan dari sikap kepedulian, kebersamaan, maupun kasih-sayang. Melalui Ibadah Zakat dan shadaqah kita dibentuk untuk menjadi manusia yang memiliki kebersihan jiwa, yaitu manusia yang bersih dan lembut hatinya, yang penyantun, dan yang memiliki rasa kasih sayang serta keikhlasan.
”Pungutlah shadaqah dari sebagian harta-harta mereka, yang akan membersihkan dan menyucikan jiwanya dari noda-noda kikir, serakah, serta sifat kejam terhadap fakir miskin, dan berdo’a-lah untuknya. Bahwasanya do’a-mu itu menumbuhkan ketenteraman hatinya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS.At Taubah: 103).

Ibadah shadaqah tentunya tidak hanya sebatas memberikan harta benda tetapi juga bisa berbentuk bantuan moral atau tenaga, dan memberi seyum pun bernilai shadaqah. Sungguh jelas bahwa pelaksanaan ibadah zakat dan shadaqah merupakan proses pembentukan akhlak mulia. Jadi bila seseorang telah memiliki dorongan kuat dalam batinnya untuk selalu berusaha membantu kesulitan orang lain, dan niatnya itu ia laksanakan dengan tulus ikhlas karena Allah, berarti dalam diri orang tersebut telah tumbuh akhlak yang luhur.

”Sesungguhnya mereka yang beriman dan yang melakukan amal-amal kebajikan, Allah Ar Rahmaan akan menanamkan rasa kasih sayang dalam hati mereka”.(QS.Maryam: 96).

Saudaraku, kini kita sampai pada pembicaraan tentang hubungan antara Ibadah haji dengan pembentukan akhlak. Pelaksanaan ibadah haji relatif cukup berat, selain diperlukan kesiapan fisik juga sangat perlu adanya kesiapan mental. Dalam pelaksanaannya diperlukan pengorbanan, kesabaran dan keikhlasan. Selain itu, sebelum berangkat si calon haji berkewajiban untuk peduli terhadap tetangganya jangan sampai ada yang masih kelaparan. Jadi dalam ibadah haji dari mulai tahap persiapan sudah nampak adanya proses pendidikan akhlak, apalagi pada saat proses haji berlangsung. Dalam ibadah haji ini terdapat pendidikan akhlak yang komprehensif dari mulai membangun kedisiplinan, ketaatan, dan kerendahan hati, sampai pada sikap ketekunan dan kegigihan dalam perjuangan. Di semua Rukun haji terkandung makna pembentukan akhlak, dari mulai tawaf, sa’i, jumroh, maupun wukuf. Sungguh besar dorongan motivasi perbaikan akhlak dalam pelaksanaan ibadah ini, keinginan untuk menjadi seorang hamba yang baik sudah tumbuh sejak terbetiknya niat beribadah haji. Di sana kita akan berlaku sangat hati-hati, menjauhi sikap-sikap tercela, menahan diri untuk tidak berkata kotor, tidak jahil, atau berpikir yang negatif. Dan, proses pendidikan akhlak ini akan berlangsung cukup lama yaitu selama para jamaah berada di Tanah suci.

Jadi, dari pembahasan ini dapat kita simpulkan bahwa segala rukun ibadah dalam Islam memang terkandung unsur pendidikan akhlak bagi manusia. Bila ibadah-ibadah itu dapat dilaksanakan secara sempurna maka akan sempurna pula hasil pendidikan akhlaknya; Bila tidak!, berarti terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya.

Saudaraku, bagaimana dengan keadaan akhlak kita saat ini?, dan bagaimana pula kesempurnaan pelaksanaan ibadah-ibadah kita selama ini?; Apakah sudah baik ataukah masih belum?. Lalu bagaimana hasil dari kita beragama, apakah telah membuat kita menjadi orang yang berakhlak mulia?. Bila belum, maka seharusnya kita segera berupaya untuk memperbaikinya, karena kita tidak tahu umur kita , jangan sampai terlambat, kuatir belum sempat kita berbuat ternyata telah dijemput ajal?!. Mari kita sempurnakan akhlak kita melalui niat yang kuat menuju akhlak mulia, berusaha memahami agama, dengan meningkatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah kita, serta tidak lupa selalu berdo’a memohon keridhoan dan karunia hidayah dari Allah Swt. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang beruntung, memiliki akhlak yang mulia; Amiin.

”Sesungguhnya pada diri Rosulullah itu terdapat suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Rahmat Allah dan takut akan siksa-Nya pada hari akhirat, lagi pula dia banyak mengingat Allah” (QS.Al Ahzab: 21).


Subbhanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Wallahu A’lam bial-shawab.

Wassalmu alaikum warrahmatullahi wa barakatuh

Minggu, 09 Agustus 2009

JALAN MENUJU NIKMAT

Jalan Menuju Nikmat

Oleh: Joko Suharto




Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,
Wassholatu wassalamu ala assrofil ambiya walmursalin Syaidina Muhammadin Nabiyil umiyi wa ala alihi wasshobihi ajmain. Wa lahaula wa laa quwwata illa billaahi,
Amma ba’du,

Allah SWT telah memberi petunjuk dan menuntun kepada kita seperti tuntunan yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagaiberikut,
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fathihah: 6-7)

Saudaraku, demikian salah satu ayat yang kita baca secara berulang-ulang di dalam ibadah shalat agar kita memperoleh tuntunan menuju jalan yang lurus, yaitu jalan kebenaran yang memberikan keselamatan bagi kita.

Maka kali ini marilah saudaraku kita bicarakan hal yang berkait dengan ayat tadi, yaitu tentang jalan yang lurus dan jalan menuju kenikmatan.

Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang telah memperoleh nikmat, seperti kehidupan para Nabi, para Wali, dan para hamba Allah yang sholeh, yang benar-benar beriman dan bertakwa; Yaitu jalannya orang-orang yang hidup dalam keridhoan Tuhannya, orang-orang yang menjalani hidupnya dengan penuh pengabdian dan keikhlasan, yang memiliki kepuasan batin, atau yang memperoleh ketenangan jiwa. Dalam kata lain, jalan yang lurus adalah suatu jalan kehidupan orang-orang yang selamat, yang di dalamnya terkandung sikap hidup yang benar-benar mengabdi atau beribadah kepada Allah, yang benar-benar patuh dan tidak terdapat sikap pembangkangan terhadap perintah Allah, serta yang tidak terdapat sikap angkuh dan sombong.

Jalan yang lurus bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh Allah, dan juga bukan jalannya orang-orang yang sesat. Orang yang dimurkai oleh Allah antara lain adalah orang-orang yang suka membangkang, orang yang sombong, yang suka membanggakan diri sebagaimana sikap Iblis, orang-orang yang serakah dan yang kikir, orang-orang yang jahat, yang suka mendzalimi orang lain serta yang tak mau menyantuni anak yatim, dan juga orang-orang yang curang, yang suka mengurangi timbangan. Contoh golongan orang-orang yang dimurkai oleh Allah antara lain adalah Sang raja Fir’aun dengan segala kezalimannya, kaum Bani Israil dengan keangkuhannya, orang-orang munafik dengan segala tipuannya, serta orang-orang fasik yang buta hatinya, dan orang-orang yang segolongan dengan mereka lainnya. Sedangkan contoh jalannya orang-orang yang sesat adalah kesesatan dari umat golongan lain di luar Islam, serta kesesatan dari orang-orang yang telah musyrik ataupun yang berlaku syirik, dan juga kesesatan dari golongan kaum sesat lainnya.

Jadi bilamana ada orang yang masih suka men-dzalimi orang lain atau masih bertuhankan kepada nafsu hasrat, atau barangkali masih suka membanggakan diri, ataupun masih suka riya’, maka orang tersebut termasuk dalam golongan orang yang dimurkai oleh Allah, dan atau tergolong orang yang sesat dalam bertuhan. Dan bukti kesesatan manusia antara lain adanya suatu kaum yang menggunakan akal pikirannya untuk menyakini bahwa ”Tuhan Allah” di surga mengutus ”anaknya” turun ke bumi guna melakukan penebusan dosa-dosa manusia!?.

Mungkin saja terjadi ada di antara kita yang berpikir atau membayangkan bahwa Dzat Allah bagaikan dzat material sebagaimana dzat mahluk-mahluk ciptaan-Nya!?, atau mungkin membayangkan seolah-olah Allah Swt. berada jauh di atas sana dengan bentuk entah dibayangkan seperti apa!?. Dengan adanya pikiran seperti itu bukankah sama saja halnya dengan cara berpikirnya kaum yang sesat tersebut di atas?. Berarti memang masih banyak orang yang belum berjalan secara tetap atau istiqamah di jalan yang lurus.
”Dan katakanlah; Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan penolong dari penghinaan, dan agungkanlah Dia seagung-agungnya”.(QS. Al-Isra’: 111).

Saudaraku, mungkin saja ada orang yang menyatakan bahwa Allah-lah tuhannya, namun dalam kenyataannya mereka masih bersandar dan memuja manusia lain, bersandar dan memuja para pejabat, ataupun memuja benda-benda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan ”gaib” yang diharapkan dapat memberi pertolongan kepada mereka untuk mencapai keinginan hasrat duniawinya. Banyak alasan yang mungkin akan mereka pakai untuk melakukan pembenaran terhadap kelakuannya itu, antara lain dengan menggunakan alasan bahwa ”cara memintanya kan tetap menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an”?; atau dengan alasan bahwa tindakannya itu ”hanya sebagai ’syari’at’ saja?”, atau dengan berbagai alasan lainnya. Bahkan mereka-pun akan dapat mendemonstrasikan atau membuktikan secara kasat mata tentang adanya kekuatan-kekuatan ”ghaib” pada benda yang dipujanya itu. Lalu, kalau seperti itu halnya, apakah orang tersebut masih dapat dikatakan tauhid di dalam beriman?, ataukah ia telah musyrik?. Sungguh, sangat halus bisikan syaitan dalam menyesatkan manusia, sehingga tak heran bila banyak orang akan mengalami kesulitan untuk membedakan mana jalan yang lurus dan mana yang sesat.
”Segala puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta. Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkau kami mengabdi (menyembah), dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan”. (QS. Al Faatihah: 2-5).

Bagi orang-orang yang berjalan di ”jalan yang lurus” segala puja dan pujinya serta pengagungannya hanyalah bagi Allah, Tuhan-nya Yang Maha Esa. Pengabdiannya atau ibadahnya, segala amal-amalnya, hanyalah karena Allah. Meminta pertolongan dan mengharap keberuntungan juga hanya kepada Allah, tidak kepada siapapun.

Shiraathal mustaqiim atau jalan yang lurus nampaknya bagi sebagian orang terasa sangat sulit untuk dijalani. Sehingga digambarkan seolah-olah jalan yang lurus ini bagaikan titian rambut dibelah tujuh. Karena licin dan sulitnya jalan tersebut maka kaum cerdik-pandai akan sangat berhati-hati terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap hidup di jalan yang lurus ini. Dan kita-pun hendaknya berlaku seperti itu pula, yaitu untuk selalu waspada, karena bila kita kurang waspada maka tanpa sadar kita dapat tergelincir dan menyimpang dari jalan keselamatan dan kenikmatan tersebut.

Mengingat begitu sulitnya menjadi manusia yang tetap berjalan di atas jalan yang lurus maka kita dituntut untuk selalu berusaha secara sungguh-sungguh mengatasi segala dorongan nafsu yang menggoda, dan Allah telah memberikan janji-Nya untuk memberi petunjuk kepada orang-orang yang mau berjuang di jalan Allah secara bersungguh-sungguh.

”Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-Ankabuut: 69).

Pada hakekatnya manusia tidak memiliki daya upaya, kecuali atas kekuasaan Allah, dan tak kan mampu manusia menetapkan perjalanan hidupnya kecuali atas izin-Nya. Keselamatan ataupun musibah yang kita alami dalam hidup kita-pun tak kan lepas dari kekuasaan-Nya. Begitu-pun dalam memperoleh jalan yang lurus, tetap saja harus melalui Keridhoan-Nya. Tanpa tuntunan dan keridhoan-Nya takkan dapat kita meniti pada jalan yang lurus dan takkan kita peroleh pula anugerah kebahagiaan dan kenikmatan dari-Nya.
Dan, ”Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”.(QS. Al-Baqarah: 269).

Dengan sholat kita mengagungkan asma Allah, dan dengan sholat kita mengharap rahmat ketajaman akal pikiran, memperoleh kepekaan rasa, peningkatan kemuliaan akhlak, mematahkan kesombongan, serta mengharap pengampunan atas dosa-dosa menuju ketentraman jiwa.

”Yaa Allah, Yaa Tuhan kami, terimalah sholat kami, dan janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung pada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami Rahmat dari sisi Engkau karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi Karunia”.
Semoga Allah meridho amal-amal ibadah kita. Amiin Ya Allah amiin.

Subbhanakallaahumma wa bihamdika asyhadu an-laa ilaaha anta astaghfiruka wa atuubu ilaika.

Wallahu A’lam bial-shawab.

Wassalmu alaikum warrahmatullahi wa barakatuh
______________